Rabu, 12 November 2014

THE DARK HOLE (PART1)


Bulan masih bulat penuh saat Ai menutup jendela kamarnya. Bulan itu tak lagi berwarna kuning, begitu pula semua yang ada di sekitarnya. Semua tinggal abu-abu dengan intensitas berbeda-beda. Semenjak dark hole terbuka, semua warna di dunia ini leyap, terserap olehnya.
Adalah kesalahan Ai yang membuka penutup dark hole. Meski ia tidak sengaja. Semua bermula dari kegiatan kerja bakti yang diadakan sekolah mereka dua hari yang lalu. Disaat membersihkan halaman belakang yang penuh semak belukar, Ai yang berumur lima belas tahun saat itu ditemani Io, kakaknya yang setahun lebih tua darinya, tak sengaja menarik penutup dark hole. Penutupnya hanya berupa batu berbentuk oval yang tertancap di tanah. Namun setelah batu itu tercabut, dark hole terbentuk. Dari sanalah kegelapan bermula. Dark hole menyerap semua warna yang ada di dunia ini dan menukarnya dengan abu-abu.
Seketika seluruh dunia gempar. Pemberitaan media cetak maupun elektronik mengenai fenomena ini merebak. Para ilmuwan dari berbagai neraga mengadakan penelitian bersama, membahas tentang keanehan yang terjadi, menghilangnya warna dari dunia. Pasukan militer di setiap negara diwajibkan bersiaga, memantau perkembangan setiap saat kalau-kalau terjadi ancaman yang tak diinginkan.
Bumi seperti planet yang hampir mati. Tak banyak aktivitas yang dilakukan manusia sekarang ini. Hanya sedikit orang yang berani keluar rumah. Biasanya mereka pergi untuk membeli keperluan sehari-hari, menimbun bahan makanan. Transportasi umum hanya sesekali saja berjalan. Itupun tak banyak penumpang. Tidak ada pesawat yang terbang, kecauli pesawat militer yang lalu lalang berpatroli.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Ai. Ia naik ke tempat tidur Io yang tepat bersebelahan dengan jendela kamar. Tirai terbuka lebar. Io melihat ke luar, ke matahari yang kini tak seterang dua minggu yang lalu, sekarang tinggal lingkaran besar berwarna abu-abu terang di antara abu-abu yang lebih gelap yang biasa berwarna biru jika siang hari dan biasa disebut langit.
Io hanya terdiam. Ia masih menatap matahari abu-abu yang kini sinarnya tak lagi menyilaukan mata hingga siapapun bisa menatapnya secara langsung. Ia menggigit bibir bawahnya, berpikir keras, berusaha menjawab pertanyaan Ai. “Aku tak tahu,” jawabnya kemudian. Ia mendesah dramatis. “Kita harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Tentang lubang hitam itu … tidak mungkin lubang sekecil itu bisa menyerap semua warna di dunia ini.” Ai memandang lurus ke Io. Suaranya sedikit bergetar. Ada sedikit rasa takut dalam hatinya yang memancar lewat matanya.
“Pernyataan yang bagus. Itulah yang harus kita cari tahu.” Tiba-tiba Io bersemangat. Saat-saat seperti ini adalah saat dia harus memberikan dukungan ke pada adiknya yang merasa bersalah karena telah menarik kristal hitam itu. Io memegang kedua bahu Ai, memutarnya agar menghadap padanya. “Kita pasti akan menemukan jalan keluarnya. Percayalah padaku.”
“Entahlah, Io.” Ai memalingkan wajahnya ke televisi yang masih memberitakan tentang kepanikan manusia di berbagai belahan dunia akan fenomena ini. “Semua itu karena aku.”
Io mendesah dramatis. Ia mengambil remot televisi yang tak jauh dari tempatnya lalu mengarahkannya ke televisi. Saat ia menekan tombol off dan televisi mati, ia kembali memandang Ai.
“Jangan pikirkan kepanikan itu.” Io turun dari tempat tidur, berjalan menuju ke meja belajarnya. Ia mengambil laptop lalu menyalakannya. “Semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali ke seperti semula.”
“Bagaimana caranya?” Nada pertanyaan Ai seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan Io.
“Yaa … entahlah. Aku juga belum tahu. Tapi akan kita cari tahu.” Saat Io kembali menatap layar laptop dan mulai mencari informasi di internet tentang apa yang terjadi, Ai menghela nafas panjang. Ia tertunduk, bahunya melorot.
“Lebih baik kau kemari dan bantu aku mencarinya,” pinta Io tanpa melihat ke Ai.
Ai belum beranjak dari tempat tidur. “Apa kau akan mengatakan pada ayah dan ibu yang sebenarnya?”
Dengan cepat Io menoleh ke Ai. “Aku bukan tipe pengadu. Ini akan menjadi rahasia kita.”
“Benar?” Ai meragukan kata-kata Io.
Lagi-lagi Io mendesah dramatis. “Apa aku pernah berbohong padamu?”
“Pernah.” Jawab Ai cepat. “Bahkan sering.”
Io sedikit geram. “Itu karena aku sedang bercanda.”
Ai ingat saat Io tanpa sengaja menemukan hasil ulangan hariannya yang jelek, yang terjatuh dari bawah bantalnya. Ai sudah berusaha menyembunyikannya. Tapi ini bukan kamar pribadi. Sejak lahir ia harus berbagi kamar berukuran lima kali enam meter ini dengan Io. Bisa saja sesuatu terjadi tanpa disadari. Termasuk rahasia yang sudah dengan rapi disimpan, tiba-tiba ketahuan.
Saat itu Io berjanji tidak akan mengatakannya pada ayah. Ai tahu ayahnya akan marah besar. Ai sadar, ia tak sepintar Io. Tapi ia sudah berusaha keras, dan gagal. Semua berjalan lancar hingga saat mereka sarapan bersama, tiba-tiba Io keceplosan. Dia memang sering seperti itu, seperti bicara tak terkendali. Meskipun tak sengaja, tapi tetap saja Ai ketahuan. Ai terkadang bingung. Sebenarnya Io benar-benar keceploan atau sengaja mengatakannya. Bukan sekali ini kejadian. Saat Ai naksir Ian, sepupunya sendiri – putera paman Sam, adik ayahnya – Io melakukan hal sama. Ia tiba-tiba keceplosan, membuat semua orang yang ada di rumah neneknya tertawa. Dan itu membuat Ai sangat malu.
“Apa kau sedang serius sekarang?” Ai memastikan. Ia mengamati wajah Io dengan seksama. Tak ada sedikitpun senyum di wajahnya. Bahkan memang terkesan tidak sedang bercanda.
“Apa menurutmu semua kegelapan ini adalah gurauan?”
Ai menggeleng.
“Tidak ada yang ingin bercanda dalam situasi ini.”
Ai mengangguk. Suaranya makin lemah, tapi paling tidak ia sedikit lega tak akan ada yang tahu kalau dialah pembuka dark hole. “Terima kasih, Io.”
“Sama-sama. Tapi aku akan terus mengingat ini. Dan suatu saat nanti kau juga harus membantuku.” Kata-kata Io tegas. Ia menoleh ke Ai dengan wajah serius.
Alis Ai terangkat, sedikit curiga dengan sikap Io. “Mambantu apa?”
Io hanya mengendikan bahu. “Entahlah. Aku belum tahu.” Ia lalu kembali menatap layar laptop. “Tapi suatu saat aku pasti juga akan membutuhkan bantuanmu. Dan kau harus menyanggupinya. Tidak boleh ada alasan.”
“Tuh, kan. Sudah aku duga.” Bahu Ai melorot. “Kau pasti punya pamrih membantuku. Tidak ada yang gratis darimu, Io.”
Io tertawa. “Sudah, lupakan! Ayo, kemari!”
***
“Aku tak percaya. Kegelapan ini pernah terjadi sebelumnya. Ratusan tahun yang lalu. Tapi artikel ini tak menyebutkan penyebabnya.” Mata Io memindai setiap kata yang muncul di layar laptopnya. Ia membaca sebuah artikel yang ditemukannya. Satu-satunya artikel yang benar-benar memberinya informasi tentang fenomena kegelapan ini.
“Mungkin karena tak ada yang tahu apa penyebabnya,” jawab Ai asal. Ia sudah terlalu putus asa dengan semua ini. Untung saja ada kakaknya, Io. Ia selalu punya semangat dalam hidupnya dan tak pernah padam. Terkadang Ai senang dekat dengannya, berharap semangat itu menular padanya.
Io melanjutkan membaca. “Kegelapan itu terjadi dalam beberapa minggu. Dan saat kegelapan itu terjadi, sering terdengar suara auman yang tak diketahui dari mana asalnya.”
Mata Ai menyipit. Ia mendekat ke Io lalu berkata dengan suara berbisik. “Kira-kira suara apa itu?”
Io bergumam. “Entahlah.”
Suara Ai kembai normal. Ia coba mengingat-ingat. “Ini sudah hampir seminggu dan kita tidak mendengar suara aneh apapun.”
Io mengangguk. “Benar. Kecuali …,” Ia melihat ke arah Ai dan membuat dahi Ai berkerut semakin dalam. Ai tidak mengerti arti tatapan mata kakaknya itu.
“Kecuali apa?”
“Suara mendengkurmu yang keras,” Jawab Io dengan maksud mengejek, lalu dia tertawa.
Ai cemberut. “Kau bilang tak ada yang mau bercanda di situasi seperti ini.”
“Maaf.” Io masih terkekeh. “Aku hanya tidak ingin kita terus tegang seperti ini. Ayolah, Ai! Tersenyumlah sedikit!” Io merasa bersalah. Ia memang suka jahil terhadap Ai. Ia tahu adiknya itu berhati kecil, mudah terpengaruh dan penakut. Mudah meributkan masalah yang kecil menjadi besar.
“Bagaimana aku bisa tersenyum?”
“Dengar!” Io memegang pundak Ai, berusaha menguatkan. “Kita sudah mendapat sedikit informasi. Dan aku yakin informasi ini akan membawa kita ke jalan keluar.”
“Dimana?”
“Perpustakaan kota,” Jawab Io mantap. Ia tersenyum dan sangat percaya diri dengan gagasannya itu.
“Apa?!” Ai mengerjap. Tidak mengerti hubungan seperti apa yang dipikirkn Io.
Io geram karena adiknya belum juga memahami arah pembicaraan. “Perpustakaan kota adalah perpustakaan terbesar dan terlengkap. Pasti di sana banyak menyimpan buku sejarah, catatan perjalanan, koran, kliping atau apapun.”
“Bagaimana kita bisa ke sana? Ayah melarang kita pergi keluar.”
Io memutar matanya. “Sejak kapan kau jadi penurut?”
Mendengar perkataan Io, Ai menelan ludah dengan susah. Ia mengerti maksud kakaknya. Mereka akan pergi dari rumah dengan menyelinap. Mengendap-endap seperti pencuri di rumah sendiri.
“Ambil jaketmu dan jangan berisik!” pinta Io. Ia sendiri memasukkan lembaran kertas artikel yang dicetaknya dari internet yang berisi secuil informasi tentang dark hole.
Zack, ayah Io dan Ai, sedang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon saat kedua anak itu turun ke bawah. Dan Scarlet, ibu mereka, sedang memasak makan malam di dapur. Io dan Ai sengaja melepas sepatu mereka agar tak ada suara langkah kaki,  mereka melangkah selangkah demi selangkah. Setelah melihat sekeliling dan dirasa aman, dengan mantap keduanya melanjutkan mengendap-endap, membuka pintu depan perlahan lalu menutupnya tanpa suara.
“Cepat! Kita harus kembali sebelum makan malam.”
***
Perpustakaan kota masih buka sore itu. Io dan Ai menaiki beberapa anak tangga hingga mereka sampai tepat di terasnya. Empat pilar penyangga besar menjulang hingga ke atas. Sebuah pintu masuk besar terbuat dari kaca membawa mereka ke lobi depan. “Apa kau yakin kita akan menemukan sesuatu di sini?” Tanya Ai.
“Tentu saja” jawab Io sambil menyerahkan kartu anggotanya pada petugas. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu menyorotkan barcode yang ada dibelakang kartu pada barcode reader. Sesaat kemudian terdengar suara beep, dan layar komputer memunculkan foto Io lengkap dengan identitasnya.
“Selamat datang,” sapa petugas itu, lalu menyerahkan kartu Io kembali. “Silahkan menggunakan komputer yang tersedia untuk mencari buku yang kamu inginkan. Jika kesulitan, silahkan minta bantuan petugas kami,” katanya ramah.
“Terima kasih.” Kata Io saat menerima kartunya kembali. “Sampai kapan anda akan bertugas, Pak?”
“Sampai orang-orang di dalam itu menuntaskan rasa penasarannya dengan yang terjadi sekarang.”
“Banyak orang di dalam?”
“Tidak juga. Hanya beberapa. Tapi mereka datang setiap hari kemari, membongkar buku-buku ....”
“Anda tidak takut?” Potong Ai, penasaran.
Petugas itu bergumam. “Sedikit. Aku hanya berusaha berpikir positif kalau semua akan kembali normal. Orang-orang pintar dan pemerintah sedang berusaha memecahkan masalah ini, dan aku yakin semua akan kembali seperti semula.” Suasan hening sesaat. “Bagaimana dengan kalian. Apa yang kalian lakukan di sini?”
“Kami hanya bosan di rumah. Sekolah juga diliburkan. Jadi kami datang kemari. Siapa tahu ada buku yang menarik.”
“Orang tua kalian tidak melarang keluar rumah?”
“Tidak, jika hanya sebentar.”
“Baiklah. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.”
Ai melangkah pelan, memperhatikan sekeliling dan sedikit terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Ia mengagumi betapa besar perpustakaan ini. Belasan kali lebih besar dari perpustakaan sekolahnya. Ada tiga lantai. Masing-masing lantai berderet rak-rak buku terbuat dari kayu, tinggi hingga mencapai atap. Ai yakin ada ribuan buku di sini. Bahkan mungkin jutaan. Entah berapa lama mereka sudah disimpan di sini. Sebagian dari buku-buku itu sudah memudar warna sampulnya. Ada juga yang kertasnya sudah menguning dan tepinya mulai rapuh.
“Aku tak yakin kita harus memulai dari mana untuk mencarinya.” Ai merasa tak ada harapan. Sangat tidak mungkin mereka membaca satu persatu buku yang ada di sini.
”Kemari!” Io menarik tangan Ai agar ia mengikutinya. Mereka menaiki tangga menuju ke lantai dua. Io sering kemari. Itu sebabnya ia sangat mengenal tempat ini. Mereka menuju ke deretan meja. Di atasnya terdapat beberapa komputer. Io menarik salah satu kursi, duduk dengan nyaman di sana. Lalu menyuruh Ai untuk duduk di samping kirinya. “Kita akan mencari tahu apapun yang ada di sini yang berhubungan dengan bencana ini.”
Io mengetikkan dark hole pada kolom keyword, di layar pencarian. Komputer berproses. Satu menit, dua menit. Tiga menit berlalu dan layar tak menampilkan apapun kecuali kalimat no result. Mereka mendesah dramatis dengan bahu melorot.
“Tak ada apapun di sini.” Kali ini Ai benar-benar putus asa. Ini adalah harapan terakhirnya untuk mendapatkan jawaban.
“Kita coba sekali lagi.” Io tak mau menyerah. Ia mencoba sekali lagi. Lagi. Dan lagi. Tapi ternyata hasilnya sama. Io yang awalnya bersemangat mulai putus asa. “Tidak mungkin.”
Ada yang bisa aku bantu?” Suara lelaki di belakang mereka, mengejutkan.
Io sedikit ragu. “Eh … tidak. Terima kasih.”
Lelaki itu memincingkan mata, melihat ke layar computer. “Dark hole?!” Dia membaca kolom keyword, lalu bergumam. “Hmm … menarik. Apa yang ingin kau ketahui tentang dark hole?” Tiba-tiba lelaki itu menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk di sebelah kanan Io.
 Io dan Ai, bingung. Mereka saling memandang. “Apa yang kau ketahui tentang dark hole?” Io memberanikan diri bertanya.
“Apapun yang ingin kau ketahui,” jawab lelaki itu tegas.
Lagi-lagi Io dan Ai saling memandang, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
Lelaki itu bangkit. “Ikutlah denganku!”
Io dan Ai mengikuti lelaki berperawakan gempal itu naik ke lantai tiga. Tak ada banyak orang di perpustakaan. Tak sampai sepuluh orang. Apalagi di lantai tertinggi ini. Tak ada seorangpun.
“Siapa nama kalian?” Tanya lelaki itu berusaha ramah.
Io menjawab. “Aku Io dan ini adikku Ai.”
“Aku Jo. Kenapa kalian tertarik dengan black hole?” Tanya lelaki itu lagi begitu mereka sampai di lantai tiga, berhenti di antara rak-rak kayu dengan deretan buku-buku yang mereka yakini umurnya lebih tua dari umur kakek mereka.
Ai mencengkeram lengan Io hingga dia tercekat dengan kata-kata yang akan diucapkannya. “Aku --,” Dengan cepat Io berpaling ke Ai dan melihat adiknya itu menggeleng pelan. Ai berharap Io tidak keceplosan lagi, mengatakan kalau Ai adalah penyebab bencana ini. “Hanya ingin tahu saja.”
Jo bergumam sambil memandangi Io dan Ai bergantian, dari atas hingga ke bawah. “Tidak banyak anak-anak yang ingin tahu seperti kalian. Sebagian besar ketakutan atau bahkan tidak peduli. Lihatlah ke bawah! Mereka semua adalah orang dewasa yang ingin tahu seperti kalian.”
Io dan Ai mengikuti Jo yang melongok ke lantai bawah lewat beranda luas di lantai tiga. “Tak banyak orang di sini.”
“Hanya beberapa orang ini, kalian, aku, April di bagian peminjaman, dan Kevin,”
“Petugas di lobi tadi?” Tanya Ai cepat.
“Ya.”
Jo berhenti pada salah satu rak pada deret paling belakang. Ia menarik tangga, naik ke rak paling atas, mengambil sebuah buku dan meletakkannya di samping, lalu tangannya masuk lebih dalam ke rak di antara dua buku. Sesaat kemudian Ia menarik tangannya dan mencengkeram sebuah buku besar dan tebal. “Ini dia.”
Jo mengembalikan buku di sampingnya, lalu turun perlahan. Dengan nafas terengah, ia menyodorkan buku itu pada Io. “Yang kalian cari.”
Dahi Io dan Ai berkerut melihat buku yang disodorkan oleh Jo. Buku tebal dengan ukuran tidak lebih besar dari tas ranselnya, kertasnya rapuh dan terlapisi debu, lalu mereka bersuara serempak. “Dark hole?!”
“Ya, semacam itu.” Jawab Jo enteng. Ia bersedekap sambil menyandarkan tubuhnya ke tangga, lalu sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya pada Io dan Ai sambil meletakkan telunjuk kanannya di depan bibirnya. Ia berbicara setengah berbisik. “Jangan katakan pada siapapun. Ini rahasia.”
Io dan Ai mengangguk serempak. Lalu Ai berkata, “Tebal sekali,”
“Bawalah pulang. Kalian bisa membacanya di rumah.”
Ai membolak balik buku sambil mengamatinya dengan seksama. Dia sedikit heran. “Kenapa kau tidak meminjamkannya pada yang lain. Kau malah meminjamkannya pada kami … anak-anak.”
Jo bergumam. “Itu juga rahasia.”
Mendengar kata-kata Ai, Io memutar mata. “Karena kita lebih membutuhkannya.” Potongnya cepat. “Terima kasih, Paman Jo. Kami harus pulang sekarang.” Io segera berbalik dan menarik tangan Ai yang belum sempat mengucapkan kata-kata apapun pada Jo, termasuk selamat tinggal ataupun sampai jumpa lagi.
“Hey, tunggu!” Jo ingin memberi tahu sesuatu tapi anak-anak ini berjalan cepat, setengah berlari. “Ah, dasar, anak-anak.” Namun Jo menemukan sesuatu yang jatuh dari saku Io. Sebuah kertas putih yang diremas. Jo memungutnya, membukanya lebar, lalu membaca tulisan yang ada di kertas itu pelan. “Dark hole.”
***
“Dari mana saja kalian?” Suara Zack membuat Io dan Ai tersentak kaget. “Ayah sudah melarang kalian keluar rumah.” Lanjutnya dengan suara sedikit meninggi sambil berdiri berkacak pinggang di depan pintu.
Io meringis. “Aku menemani Ai ke rumah Grey. Dia mau meminjam buku ensiklopedia.” Io berasalasan sambil kakinya menginjak kaki Ai.
Ai kaget, tapi berusaha tetap normal. Dengan cepat otaknya memikirkan alasan lain. “Benar, Ayah.” Suaranya sedikit bergetar. “Aku bosan di kamar.”
Zack mendesah, tidak dapat menerima alasan kedua putrinya. “Tapi kalian bisa berpamitan terlebih dulu sebelum pergi.”
“Maaf.” Jawab kedua gadis kecil itu serempak. Ada rasa takut akan kemarahan ayah mereka.
“Apa kalian tahu? Kalian sudah membuat ibu kalian cemas.” Menyadari perubahan raut wajah kedua putrinya, Zack menurunkan nada suaranya. Lanjutnya, “Dan ayah lebih cemas lagi karena tidak menemukan kalian di seluruh penjuru rumah.”
“Kami janji tidak akan mengulanginya lagi. Lagi pula kami sudah remaja. Jadi ayah tidak perlu secemas itu.” tanggap Io. Dia berusaha mengakhiri pembicaraan ini cepat, sebelum ayahnya mengintrogasinya lebih dalam.
“Justru karena kalian remaja, Ayah tidak ingin kalian melakukan sesuatu yang nekad … bahkan konyol.”
Io memutar matanya. Ia sadar tidak akan menang jika berdebat dengan ayahnya. “Baiklah, Ayah. Kami berjanji tidak akan mengulanginya.”
“Janji?!”
“Janji,” jawab mereka kompak. Io benar-benar sudah tak sabar masuk kamar lalu membuka buku yang baru saja didapatnya. “Boleh kami naik ke kamar sekarang?”
“Tidak,” Meski nada suara Zack sudah menurun, tapi masih terdengar tegas, “sebelum kalian temui ibu kalian dan mengatakan kalau kalian baik-baik saja.”
Io menarik tangan Ai, menuju ke dapur.
“Ya, ampun. Kemana saja kalian?” Scarlet berjalan cepat ke arah kedua putrinya lalu memeluknya erat.
“Dari rumah teman, meminjam beberapa buku.” Setelah dari tadi hanya sebagai pendengar saja, termasuk saat Io berdebat dengan ayahnya, kini Ai bersuara.
“Apa kalian lapar?” Scarlet memandang kedua putrinya bergantian.
“Iya.”
“Tidak.”
Dengan serempak Io dan Ai menjawab pertanyaan, namun dengan jawaban yang tidak kompak. Io melirik tajam ke adiknya yang wajahnya mendadak kaku. Io merasa ketidak kompakan mereka bisa membuat ayah dan ibunya curiga. Melihat Ai diam saja, Io langsung menyahut, “Kami lelah dan ingin cepat tidur.” Tangannya menarik paksa lengan Ai lalu menyeretnya keluar dapur dan berjalan naik ke lantai dua. “Ayo, Io.”
Ai pasrah pada kakaknya. Ia hanya bisa menggerutu sambil terus menapaki anak tangga. “Tapi, Io. Aku lapar.”
Io bergeming. “Masalah ini lebih penting dari pada makan.” Ia membuka pintu kamar, masih menarik lengan Ai masuk, lalu menutup pintu rapat lengkap dengan kuncinya. “Keluarkan bukunya!”
Ai yang baru saja merebahkan tubuhnya dengan malas bangkit. Ia menarik tasnya yang diletakkan setengah dilempar di sampingnya. “Tapi aku benar-benar lapar.” Ai memasang muka memelas hingga membuat Io menyerah. Io tak mau adiknya makin menderita.
“Ya, sudah. Ambillah apa yang bisa kau makan di dapur, lalu kembalilah kemari,” kata Io saat menerima buku besar bersampul coklet yang sudah tampak tua dan rapuh. Dengan perlahan membuka halaman depan buku itu sambil duduk di lantai kamar. Saat Ai kembali dari dapur, dia membawa nampan besar berisi beberapa potong pizza.
“Aku membawakanmu ini.”
“Terima kasih,” ucap Io saat menerima sepotong pizza tanpa menoleh ke Ai.
Ai menjatuhkan diri duduk di samping Io. Ia menggigit pizzanya lalu mengunyahnya beberapa kali kemudian terdiam. “Kapan semua ini akan berakhir?” Pertanyaan itu seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Berdo’alah dalam hati … dan jangan berisik.” Tukas Io.
Ai menghela nafas panjang, setengah pasrah. Samar, terdengar sebuah suara. Ai menoleh ke Io dan mendapati kakaknya itu duduk tertelungkup dengan tenang sambil terus membaca buku. Suara itu datang lagi tapi Ai tak tahu dimana sumbernya. Mata Ai menyipit, berusaha menajamkan pendengarannya. Dahinya juga berkerut. Ia bangkit dan berjalan mendekat ke sumber suara, jendela kamarnya. Ai menatap tanpa berkedip. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan sebuah benda yang melayang dan mengenai kaca jendelanya. Benda itulah yang menyebabkan suara yang mengganggu telinganya.
Dengan setengah berlari Ai mendekat ke jendela dan itu membuat Io kaget. “Ada apa Ai?”
“Sesuatu mengenai jendela ini.” Lalu benda itu melayang lagi. “Seseorang melempar sesuatu ke jendela kamar kita.”
“Siapa?” Io penasaran. Ia bangkit dan mendekat ke Ai.
Ai mengendikkan bahu. Potongan pizza masih ada di tangan kanannya. “Entahlah.”
Io memberanikan diri membuka jendela. Perlahan ia melongok ke luar, melihat ke bawah. Seseorang berdiri tepat di bawah jendela dan melambaikan tangan. Ai mendekat ke Io dan ikut melihat ke bawah. “Bukankah dia petugas perpustakaan tadi?” Ai mengangguk. “Mau apa dia? Mengambil bukunya kembali?”
 Lelaki itu memberi isyarat pada Ai dan Io untuk turun. “Kalau kita tak ke sana, kita tidak akan tahu.” Ujar Io, yang lalu menutup jendelanya kembali.
Dahi Ai berkerut lagi. “Bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Kita keluar diam-diam.” Io mengambil pizza dari tangan Ai. Ai mengerutkan dahi lebih dalam saat tiba-tiba tangannya di tarik oleh Io. “Seperti biasa.”
Untuk kesekian kalinya Io dan Ai mengendap-endap keluar rumah. Untung saja Zack tidak sampai mengunci pintu depan atau juga menempatkan anjing penjaga yang bisa menghalangi kedua putrinya keluar rumah. 
“Kau mau apa? Meminta buku itu kembali? Bahkan kami belum sempat membacanya,”
Ai melihat ke Io yang sedang berbohong. “Iya, benar.” Tapi ia mendukungnya.
Jo tertawa. “Tidak. Aku tidak ingin mengambil buku itu. Justru sebaliknya. Aku sudah menemukan jawabannya.”
“Benarkah?” Ai sangat antusias, tapi Io segera mencegahnya. Sahutnya, “Apa buktinya?”
“Kalian mau tahu?” Sikap Jo membuat kedua anak itu penasaran. Mereka beranggapan kalau Jo punya rencana tersembunyi kepada mereka. Menculik mereka karena mereka berusaha mengungkap tentang kebenaran dark hole, atau mungkin juga Jo ternyata adalah salah satu dari entah siapa mereka yang membuat semua ini dan menyembunyikannya di balik sebongkah batu yang ditancapkan di tanah.
Io menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha mengusir semua dugaan. Dia kemudian mengangguk perlahan, namun tetap waspada. “Tentu.”
“Datanglah ke sekolah kalian sore ini. Jangan lupa bawa perlengkapan. Kita akan berpetualang.” Kata Jo yang langsung berbalik tanpa memberikan kesempatan pasa Io dan Ai untuk memahami maksudnya.
“Apa maksudnya?”
“Entahlah.” Io mengendikan bahu. Ia masih melihat ke Jo meski kini lelaki itu tinggal titik di kejauhan. “Tapi kita tak boleh percaya begitu saja. Kita tak tahu siapa dia dan mengapa dia begitu antusias dengan semua ini.” Io mencoba memperingankan Ai dan memintanya ikut waspada. Tapi Ai punya pemikirannya sendiri.
“Tapi kalau tidak dicoba, mana kita tahu dia jujur atau tidak.”
Mendengar jawaban Ai membuat Io berpaling pada adiknya. Dahinya berkerut.
***


To be continued ... 
Next Chapter The Dark Hole Part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berbagi komentar