Sabtu, 13 Oktober 2012

SEPENGGAL KISAH DI RUMAH TUA


By. Hana Aina

“Semua ini bukan salahku!” seru Nada, terbelalak melihat pemandangan di depannya. Tera, ibu tirinya terbujur kaku, bersimbah darah dengan luka cabikan kuku selayaknya binatang buas. Ada juga Mara, kakak tirinya, yang juga diam tak bergerak dengan mata terpejam. Gigitan taring juga meninggalkan luka menganga di beberapa bagian tubuhnya.
“Aku sudah peringatkan kalian. Tapi kalian tak menggubrisku,” ujar Nada. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, lalu menjatuhkan diri dilantai perlahan. Ditariknya kakinya, lalu didekapnya erat.
***
“Ampun, Bu. Ampun!” Seru Nada. Ia terbaring di lantai gudang, di sebuah rumah tua yang telah dihuninya semenjak lahir. Tangannya berusaha menghalau sabetan rotan yang diarahkan Tera kepadanya. Ia merintih kesakitan. Namun Tera tak memperdulikan. Ia terus menghujani Nada, tanpa ampun.
“Kau sudah berani berbohong kepadaku, ya?” tanya Tera, berang. Ia menggenggam erat rotan ditangannya. Menatap sosok di depannya dengan penuh kebencian.
Suara Nada bergetar, menyiratkan ketakutan. “Aku tak pernah bohong kepada Ibu. Aku tak pernah mencurinya. Aku …”
“Bohong!” sahut Mara yang sejak tadi berdiri di belakang Tera. Lanjutnya, “Aku melihatnya sendiri, Bu. Dia masuk ke kamar Ibu dan mengambil kalung itu.”
Nada mendekap erat kalung berliontin batu delima merah. Kalung itu diberikan ayahnya pada detik-detik terakhir kepergiannya. Itu adalah kalung peninggalan ibunya yang harus ia jaga. Karena di dalam kalung itulah roh ibunya bersemayam. Ia akan selalu menjaga Nada dari semua hal yang mengancam nyawanya.
 “Ini kalungku. Peninggalan almarhum ibuku satu-satunya,” kata Nada, mengenang.
“Sekarang itu milikku. Ayo serahkan!” seru Tera, meminta kembali kalung itu.
“Tidak! Aku tidak mau!” Nada bergeming. Ia terus menggenggam erat kalung yang dikenakan di lehernya. Dan itu membuat Tera makin gelap mata.
“Kalau kau tak mau menyerahkannya, aku akan terus memukulmu,” ancam Tera. Sekali lagi ia mengayunkan rotan itu pada Nada.
“Hentikan! Ibuku akan marah pada kalian,” teriak Nada.
Mara tertawa terbahak. “Ibumu?! Ibumu sudah mati!”
Mendengar kata-kata Nada, Tera berhenti, lalu berkata, “apa kau kira Ibumu akan datang membantumu?! Jangan bermimpi!” Tera pun tertawa terbahak. Sesaat kemudian melanjutkan memukul Nada. Nada sudah tak tahan lagi. Ia pun berteriak dengan lantang, “Ibu … ibu …. Tolong aku, Bu.”
Liontin yang tergantung di kalung itu berpendar, mengeluarkan cahaya putih yang tiba-tiba terbang seperti siluet. Ia berpindah cepat dari sudut satu ke sudut yang lain.
Mara terbelalak melihat kejadian itu. Ia ketakutan hingga merapat ke ibunya. Tera pun masih bingung dengan sesuatu yang belum jelas itu. Ia terus mengikuti kemana cahaya itu bergerak. Hingga mereka berdua mendengar suara aungan keras, memekakkan telinga. Cahaya itu berhenti di langit-langit gudang lalu berputar membentuk pusaran. Putarannya semakin cepat hingga terbentuklah sesosok wanita bersayap dengan rambut panjang ikal menyala. Matanya penuh amarah. Ia mengerang, memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Tera dan Mara mundur, menjauh dari sosok mengerikan itu. “Si …siapa kau?”
Makhluk itu hanya terdiam. Menatap lurus pada dua manusia di depannya. “Kau telah melukai puteriku,”
“Pu … puterimu?”
“Ya!” jawabnya, tegas. “Dan sekarang aku akan membalas semuanya.”
Makhluk itu menegakkan tubuhnya, lalu menarik nafas panjang. Seketika ia menghembuskan nafasnya sekuat tenaga, membentuk pusaran angin besar. Mara yang ketakutan berlari menuju pintu gudang yang terbuka, berharap bisa melarikan diri. Namun terlambat, pintu itu tiba-tiba tertutup. Ia mencoba memutar handlenya, namun pintu tak bergerak, seolah terkunci.
Mara berbalik. Ia melihat Ibunya menunduk, lalu berjongkok, berusaha bertahan dari angin itu. Sedang makhluk mengerikan itu mulai mengepakkan sayapnya. Perlahan kakinya mulai meninggalkan lantai, terus naik tinggi dan mengerang. Suaranya memekik hingga Mara harus menutup kedua telinganya.
Sejurus kemudian makhluk itu mulai bergerak, secepat kilat menyambar tubuh ibunya hingga terpelanting ke samping. Lalu menerkamnya kuat, mencabiknya tanpa ampun. Mara merasa ngeri melihatnya hingga ia menjatuhkan diri ke lantai, mendekap tubuh dan memejamkan mata. Ia hanya mampu mendengar teriakan ibunya, kesakitan.
Sesaat kemudian suasana hening. Mara memberanikan diri untuk membuka mata, menjawab rasa penasarannya. Namun ia terkejut seketika. Ternyata makhluk itu ada di depannya, berdiri menatapnya dengan tajam. Mara berteriak sekeras-kerasnya. Namun tak ada yang mendengarnya. Gudang bawah tanah itu seolah memiliki dinding pemisah dengan dunia luar.
Makhluk itu meraih leher Mara, lalu menariknya ke atas. Mara berusaha keras untuk berdiri, kalau tidak ia akan tercekik.
“Kau sama saja dengan ibumu!”
“A …ampun,” kata-kata Mara terbata. Tubuhnya kini merapat ke dinding. Ia bisa merasakan tajamnya kuku makhluk itu mengenai kulitnya. Mara bergeming. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana melepaskan diri. Jalan nafasnya semakin semit.
Mara mengangkat kakinya lalu mengayunkannya ke perut makhluk itu. Tak menduga akan mendapat perlawanan, makhluk itupun tersungkur dan melepas cengkeramannya. Sekali lagi Mara menendang. Kali ini mengenai kepalanya hingga terjungkal ke belakang. Mara pun berlari menjauh ke sudut yang lain. Ia sadar tak bisa kemana-mana. Di lihatnya di sebelah kanan, tubuh Nada lemas. Entah dia sudah mati atau hanya pingsan. Namun saat melihat ke sisi kiri, tiba-tiba tubuh Mara berguncang. Ia melihat tubuh ibunya terlentang di lantai, bersimbah darah, penuh cabikan.
Nafas Mara masih tak teratur. Ia melihat jauh di depannya, makhluk itu telah bangkit dan berdiri menatapnya. Mara sedikit bergerak ke samping lalu berlari menghindar, namun kalah cepat. Makhluk itu menerkamnya dari belakang. Mara tersungkur, tertindih tubuh makkluk itu. Ia mencoba meminta ampun, namun makhluk itu tak menggubris. Makhluk itu mulai mengoyak tubuh Mara. Cakaran, gigitan dan cabikan, bertubi-tubi diterimanya hingga akhirnya ia menyerah, tak bergerak.
***
“Sudahlah, Sayang.” Sosok wanita berambut lurus panjang, berpakaian putih mengusap lembut kepala Nada. “Ayo, kita tinggalkan rumah ini!”
Makhluk itu telah menuntaskan dendamnya. Ia kini kembali ke wujud aslinya. Seorang wanita lembut yang akan selalu melindungi puterinya meski berbeda dunia.
THE END

---------------------------------------------------------------------------------
NOTE : Ini adalah satu cepenku di buku antologi Negeri Sejuta Fantasi. Diterbitkan oleh Writingrevo Publishing pada bulan September 2012.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berbagi komentar