Selasa, 23 Agustus 2011

PENYESALAN CIKA

By Hana Aina

::

Cika merebahkan tubuhnya di atas sofa merah di ruang tengah. Ditariknya nafas panjang, sesaat kemudian dihembuskannya perlahan. Seragam sekolah merah putih masih melekat di tubuhnya. Mama Cika dengan berpakaian rapi muncul dari ruang makan.

“Cika, sudah pulang sayang. Makan dulu ya. Mama sudah siapkan di meja makan.” Kata Mama pada Cika sambil menenteng tas tangannya. Mama berjalan ke arah Cika lalu duduk di sampingnya.

“Sebentar Ma. Cika sedang ngadem ni.” Sahut Cika, malas. “Mama mau ke mana?”

“Mau belanja sebentar buat kebutuhan akhir bulan.” Mama membelai rambut Cika, anak si mata wayangnya.

“Ikut dong Ma.” Cika merayu Mama dengan manja. Ditarik-tariknya lengan baju Mama.

“Memangnya kamu nggak ada PR atau ulangan?” Mama menatap wajah Cika dengan lembut. Cika terdiam. Dia teringat PR matematika yang diberika bu Dewi seminggu yang lalu dan sampai saat ini belum ia kerjakan. Belum lagi ulangan bahasa Indonesia untuk besok. Tapi Cika sangat ingin ikut dengan Mama jalan-jalan.

Hmmm… Kan masih siang. Belajarnya kan bisa nanti sore. Kata Cika dalam hati.

“Hmm… Nggak kok Ma… Nggak ada” Suara Cika terbata.

“Tapi tadi katanya capek.” Mama coba mengingatkan Cika. Diusapnya rambut Cika dengan lembut.

“Itu kan tadi, sekarang sudah hilang kok.” Cika mencoba berkilah.

“Ya sudah cepetan ganti baju. Mama tunggu di luar ya.” Ucapan Mama membuat Cika bangkit dari kemalasannya. Ia sangat bersemangat sekarang.

Cika sangat senang hari itu. Jalan-jalan ke mall, belanja ini itu. Ia benar-benar telah melupakan tugas-tugasnya. Sepulang di rumah, Dini, teman bermain Cika, sudah menunggu di depan rumah.

“Cika, main yuk!” Ajak Dini pada Cika dari atas sepeda mini biru mudanya.

“Main?!” Cika merasa ragu sesaat. Ia teringat PR dan ulangan besok pagi. Hmmm… Tapi sekarang kan masih sore. Aku bisa belajar nanti malam.

“Ayo!” Cika mengingkari janjinya tadi siang, bahwa sepulang jalan-jalan ia akan selesaikan PR dan belajar untuk ulangan.

Sore itu Cika habiskan bermain bersama Dini hingga malam menjelang. Lampu meja belajar mulai dinyalakan. Buku pelajaran telah disiapkan. Cika menarik kursi lalu duduk manis di belakang meja. Tapi tiba-tiba Cika ingat sesuatu. Malam ini film kesukaannya akan diputar di televisi. Tidak akan aku lewatkan. Nonton film dulu, baru belajar. Lagi-lagi Cika mengingkari janjinya.

Cika menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Ditinggalnya buku pelajaran, dan digantinya dengan bantal-bantal yang ia susun nyaman di atas karpet yang terhampar di depan televisi.

Cika menikmati film kegemarannya dengan senang, ditemani es krim yang dibelinya tadi siang dan beberapa snack kesukaannya.

Film berakhir hampir tengah malam, sedangkan mata Cika sudah tak tahan lagi. Berlahan lahan di sekitarnya seakan meredup. Perlahan tapi pasti Cika mulai tumbang di depan televisi, diantara tumpukan bantal yang menyangga kepalanya. Lelap pun mulai menyelimuti. Cika tenggelam dalam mimpi.

Kriiiinnngggg…

Weker di meja belajar Cika memecah keheningan kamar. Cika tersetak kaget. Sesekali dia menguap sambil tangannya mengucek-ucek mata. Dicarinya jam dinding.

“Ha?! Jam enam?!” Cika bangkit dari posisi duduknya. Langkahnya bergegas ke kamar mandi.

“Tak ada waktu lagi.” Suaranya panik. Hanya dalam setengah jam dia harus siap dengan baju seragamnya. Dilangkahkannya kaki dengan sepatu bertali yang belum rapi benar. Langkahnya terseok karna harus pula berkonsentrasi dengan buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Rupanya Cika lupa belum menjadwal pelajaran hari ini.

Setibanya di meja makan, Papa sedang asyik membaca koran, sedangkan Mama menikmati sarapannya.

“Ayo Pa, kita berangkat!” Cika meminum susunya dengan terburu-buru.

“Ayo Pa...!” Cika merengek sambil menarik-narik kemeja Papanya.

Di dalam mobil pun Cika tidak mau diam. “Pa, cepet sedikit dong mobilnya.”

“Kenapa terburu-buru. Bukankah biasanya juga berangkat jam segini?” Tanya Papa yang merasa aneh dengan tingkah Cika. Cika hanya terdiam. Dia teringat akan PR yang belum diselesaikannya. Cika berharap masih ada waktu, jadi ia bisa menyelesaikannya di sekolah. Beberapa kali Cika melihat ke jam tangannya. Sudah hampir jam tujuh. Aduh, nggak keburu ni. Kata Cika dalam hati.

Sesampainya di sekolah Cika bergegas ke kelas. Dan benar Ibu Dewi, walikelas sekaligus guru matematika Cika sudah di depan pintu. Aduh, PRku…?! Jantung Cika berdegub kencang. Dia memasuki kelas dengan rasa takut di dada.

“Sekarang keluarkan PR kalian.” Cika kebingungan. Ia belum mengerjakan satu pun PR yang diberikan, hingga akhirnya bu Dewi memberinya hukuman. Cika harus menyelesaikan PRnya di ruang guru, dan mengulangnya hingga sepuluh kali.

Lelah sudah tangan Cika. Dia kembali ke kelas ketika jam pelajaran berikutnya. Barulah ia ingat kalau ada ulangan bahasa Indonesia. Tapi tak ada waktu lagi. Bu Ratna, guru bahasa Indonesia, sudah masuk kelas. Beliau memerintahkan semua murid untuk menutup buku dan menyiapkan selembar kertas karena ulangan akan segera dimulai. Cika mengeluarkan kertas kosong perlahan. Ada takut dalam hatinya. Tentu saja, dia kan belum belajar. Semenjak soal di bacakan hingga jam ulangan hampir usai, tak satu pun jawaban tertulis di kertas Cika.

Cika menyesal, sangat menyesal. Andai saja kemarin Cika tidak berbohong pada Mama kalau ada PR dan ulangan hari ini, pastilah Mama akan menyuruh Cika belajar. Andai Cika tidak menunda mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, pastinya Cika tidak dihukum dan bisa mengerjakan ulangan dengan baik, tidak seperti sekarang ini.

Mama, maafkan Cika. Suara Cika dalam hati, penuh penyesalan. Matanya memerah, air mata tak mampu di bendungnya. Cika menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulangi.

::

Solo, 7 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berbagi komentar