Senin, 12 November 2012

MENGHIDUPKAN CERITA


Apa artinya “Menghidupkan Cerita”?

Pertanyaan ini akan memunculkan beragam alternative jawaban. Mari disambung dengan pertanyaan lain.
Pernahkah kalian bertanya-tanya atau bahkan ingin mengunjungi sebuah tempat yang disebutkan dalam sebuah cerpen atau novel? Sementara tempat itu adalah sebuah tempat yang asing, bahkan sebenarnya tidak ada dan tidak akan kita temukan di peta mana pun.
Atau barangkali banyak di antara kita yang merasa terkecoh saat menyadari bahwa tempat yang kita cari ternyata hanya rekaan semata, setting bayangan yang hanya bisa ditemukan dalam imajinasi penulisnya.
Beberapa di antara kita mungkin mendadak berdebar saat melaju di jembatan Suramadu, karena teringat sesuatu dalam novel Donatus tentang hantu Suramadu.

Nah, bila itu yang terjadi seusai kita membaca sebuah buku, artinya penulis telah berhasil menghidupkan ceritanya. Dia berhasil menghadirkan imajinasinya menjadi seolah realita bagi pembaca.
Pertanyaan berikutnya : Bagaimana caranya?

Setiap penulis akan memiliki strategi yang khas untuk mendapatkan efek itu. Saya memilih bermain dengan 3 hal :
- Detil
- Rekontruksi /reka ulang
- Dialog

1. Detil : deskripsikan sejelasnya. Apakah itu tentang situasi, peristiwa atau karakter tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Narasi yang deskriptif seolah memindahkan kejadian, tempat atau seseorang dalam cerita sehingga akan mempengaruhi pembaca seakan melihat atau bahkan terlibat dalam kisah tersebut.

2. Rekonstruksi : untuk bisa menarasikan dengan detil, lakukan semacam reka ulang dalam imajinasi. Artinya, bayangkan seolah sesuatu yang akan kita tulis itu sedang terjadi. Posisikan diri mengalaminya. Misalkan berkisah tentang perpisahan, posisikan diri mengalami perpisahan itu dengan karakter yang terlibat dalam cerita.

3. Dialog : adalah komunikasi lisan atau perbincangan antar karakter. Sertakan dialek atau gaya bicara yang khas untuk menampakkan karakter atau emosi tokoh-tokohnya. Dialog semacam ini akan menampakkan latar belakang tokoh, serta perubahan emosinya yang akan memunculkan kedekatan emosional pada pembaca.

Tentu itu hanya sebagian cara. Barangkali kalian memiliki teknik yang berbeda untuk mengeksplorasi cerita menjadi seolah benar-benar terjadi sehingga mampu membius dan menghanyutkan pembacanya.
Mari kita saling berbagi olah strategi itu.

Salam,
Sanie B Kuncoro

-------------------------------------------

DISKUSI :

TKadang saya ada kesulitan mendiskripsikan suatu tempat saat belum pernah mengunjungi tempat itu. Misal, mau deskripsi tentang pelabuhan, aktifitas bongkar muat di sana.Padahal saya belum pernah melihat aktifitas itu. Apa yang harus dilakukan?
JSebisa mungkin lakukan observasi lokasi, tidak hanya untuk tahu detilnya, tapi juga akn mendapatkan aura, semacam perasaan dan kesanmu thd suatu tempat. Klo tak bs survey, bisa observasi melalui buku2 atau google tentunya

TBagaimana cara menghindari agar detil yang kita buat tidak membosankan atau hanya sekedar memperpanjang cerita? Terkadang penulis menciptakan detil hanya untuk memperpanjang cerita, tapi cerita itu malah mati.
J : Detil bukan utk memperpanjang, tapi lebih supaya menumbuhkan kesan pd pembaca thd ceritamu. Detil yg baik seolah menuntun pembaca utk masuk dalam cerit.

T : Menghidupkan cerita itu berarti membuat cerita yang dapat dirasakan nyata oleh pembacanya ya, Mbak?
JYa benar, cerita yg hidup adalah cerita im,ajinasi yg seolah realita. Cerita fiksi memungkinkan kita memanjakan imajinasi, maka sah saja membuat sesuatu yg maya. Tapi buatlah dengan kuat, bayangkan kau berada dalam imajinasi itu, sehingga pebaca terbawa dalam imajinasimu.

T : saya sering mendengar seseorang berkata bahwa suatu cerita baru tahap 'tell' belum 'show'. Apa maksudnya ya? Bagaimana membuat cerita kita 'show'(menunjukkan) bukan hanya sekedar 'tell'(menceritakan)? Mungkin bisa dijelaskan dengan contoh konkrit?
J kalau narasinya datar, pembaca seolah merasa sedang diceritakan saja. Sekedar tell. Tapi kalau karakternya kuat, pembaca seolah melihat sendiri atau ikut merasakan apa yg ada dalam cerita, sehingga misalnya dia akan ikut tertawa atau menangis.

T : saya mau tanya, kalau mau menghidupkan cerita tentang sepasang kekasih yang dimabuk cinta bagaimana ya? Terkadang saya takut jadi vulgar.
J : Supaya tidak terasa vulgar, pilihan kata sangat penting. Misalnya kau pilih 'mabuk cinta', nah kesannya agak negatif krn berkonotasikan mabuk. Akan berbeda kalau kau pilih 'jatuh hati', lebih lembut bukan?
Terasakah bedanya?


T : bagaimana dengan cerpen yang tanpa dialog tapi cerita yang dipaparkan begitu hidup. Adakah trik lain?
J : Cerita tanpa dialog, biasanya terkesan berat. Tapi kalau itu yg diinginkan, tentu harus disiasati dengan narasi yg kuat, tidak membosankan pembaca. Mungkin bisa bermain dg metafora dan pilihan kata yg terasa baru.

T : boleh gak sih, kita nambahin setting tempat yang gak ada di tempat itu sebenarnya?
ada imajinasinya juga

J : Cerpen itu biasanya fiksi, walau bukan jenis fantasi, tentu boleh memilih setting imanjinasi. Beri nama yg unik sesukamu. Jelaskan apa yg kau lihat dalam khayalan itu. Saya sering melakukannya, dan banyak pembaca yg bertanya dimana sebenarnya setting yg sedang dipakai itu

T : Salah gak kalau ketika mendeskripskan suatu tempat, penulis juga menuliskan detail jarak suatu tempat atau tinggi suatu tempat, jadi kesannya kayak pelajaran geografi gitu, deh. Biar gak terlalu terkesan geografi banget gimana caranya, ya?

J : perhitungan harus dilakukan, asal tdk dg perhitungan yg rumit. Tapi lebih sbg utk memberikan kewajaran, bukan sebagai sesuatu yg ngawur. Linda Christanty bercerita bgm dia menulis ttg adegan anjing tertembak di cerpen Seekor Anjing Mati di Bala Murgrab, dia benar2 memperhitungkan jaraj tembak yg tepat utk presisi adegan.

T : menghidupkan cerita harus ada 3 hal di atas, tapi kadang imajinasi penulis dan pembaca nggak klop. Bagaimana trik agar bisa mempengaruhi pembaca?
J : Tak perlu berusaha klop dg pembaca Nelly Nezza, pembaca memiliki kemerdekaan utk menafsirkan dan akn sgt mungkin terjadi tafsir yg berbeda antar pembaca yg satu dg yg lain. Tenang saja, itu justru menumbuhkan dinamika yg akan bisa menjadi pelajaran utk karya kita berikutnya. Bukankah setiap pembaca memiliki imajinasinya sdrittg apa yg dia baca?

T : Kasih contoh cerita yang "hidup" dong
JAda banyak cerita yg hidup Dian, yg paling simple, tentu kau membaca Harry Potter? Bila suatu kali kau pergi ke stasiun King Cross, pasti kau ingin mendekati peron 9 1/2 itu bukan?

T : bgmn cara menghubungkan unsur latar, tokoh dan alur sehingga menghasilkan cerita yang hidup?
J Tiga hal itu adalah hal utama dalam suatu cerita. Itulah komponen yg saling mendukung yg menjadi mesin dan napas cerita. Bgn menghidupkannya? Susunlah dg baik dg pilihan diksi yg cermat pula. 

T : Setting itu kan bisa latar tempat, waktu, juga suasana. nah apa dalam suatu cerpen semuanya setting itu harus dibuat detail, atau cukup salah satu saja?
J : Cerpen itu ruangnya terbatas, hanya sekitar 8 hal, maka tidak bisa semuanya didetilkan. Pilih saja yg paling kuat untuk mendukung cerita. Atau yg paling dikuasai.  

T : Bagaimana kalau tempat yang kita ceritakan kenyataanya sangat ramai,tapi karena ingin membuat cerita romantis kita membuat tempat itu menjadi sunyi. Bagaimana Mbak?
J : Sebenarnya boleh saja, tapi kalau tempat itu terkenal maka akan sedikit membuat pembaca merasa asing dg cerita itu. Tapi bisa juga justru membuat pembaca merasa penasaran dan ingin ikut merasakan 'kesunyian' tempat yg riuh itu.

T : Gimana cara masukin sains dalam cerita? Secara ga langsung kan keadaan-keadaan yang bersifat sainstis selalu ada dalam kehidupan sehari kita. Gimana cara masukinnya? Dan gimana caranya biar ga terlalu kaku?
J : Supaya saints tidak terkesan kaku, Nurdiani Latifah, bisa diakali dg menyampaikannya dg dialog. Seolah salah satu tokoh sdg menjelaskannya pada tokoh yg lain. Biasanya bahasa dialog lebih cair. Setuju?

T : Bagaimana menentukan seberapa detail sebuah cerita agar tidak monoton dan di awal cerita pembaca tidak bosan membaca. Karena saya sering membaca cerita yang begitu detail, sayangnya terkesan monoton di beberapa bagian.
J Benar, terkadang ada detil yg membosankan krn kerap penulis terlalu asyik dg imajinasinya shg dia sendiri hanyut. Maka hrs rajin membaca ulang apa yg kita buat. Berikan jarak beberapa hari terlebih dulu shg emosi kita tak terlalu larut. Baca ulang ini akan memberikan perspektif yg lebih jernih shg bisa melakukan revisi.

T : Gimana caranya mendetailkan setting waktu dan suasana? Sementara itu yang paling banyak diperhatikan pembaca adalah detail setting tempat
J : Detail waktu bisa menggunakan warna langit. Ornamen lagit yaitu bintang bulan atau awan bisa dipakai utk menjelaskan waktu. Atau panggilan doa, juga bisa menjadi penanda.
Utk suasana, lebih banyak kemungkinan. Suara angin, hilir mudik orang, cuaca dan peristiwa bisa diieksplorasi dg maksimal.


T : Gimana caranya agar kita bisa memberikan detail setting yang kuat, namun tidak membuat pembaca bosan? Terkadang banyak pembaca yang merasa "mabok narasi" dan bahkan, saya sendiri... jika merasa sangat bosan oleh detail cerita yang bertele-tele, kadang diskip-skip saja, heu
J : Benar, kita sering terlalu menekankkan sesuatu shg justru membosankan. Baca lagi, bisa terjadi ada bnyk redudansi, yaitu pengulangan. Apa boleh buat hrs tega utk menguranginya demi supaya menjadi lebih baik.

T : Penulis sebagai editor itu apakah juga harus memperhatikan kebijakan redaksi penerbit yang kita tuju? Tentunya editing untuk penerbit islami berbeda dengan penerbit lainnya--terutama untuk ejaan.
J : Maksudnya penulis sbg editor, artinya penulis harus yakin terlebih dahulu bahwa tulisannya sdh benar, nyaris sempurna sebatas kemampuannya. Tidak membiarkan kesalahan yg telah diketahui, misalnya begitu. Bahwa kemudian ada edit dari pihak lain, itu adalah bagian dr prosedur penyempurnaan karena melihat dg banyak 'mata' akan lebih baik.

T : bagaimana caranya mengembalikkan mood setelah berhasil menyelesaikan suatu tulisan dan diendapkan, untuk melakukan self editing? Jika setelah selesai menulis langsung mengedit, tentu malah pusing. Tapi jika dibiarkan terlebih dahulu dan diberi jeda, terkadang feel-nya malah keburu hilang. Sehingga bisa jadi kita malah mengaduk-ngaduk lagi cerita yang sudah kita bangun sebelumnya dengan penjiwaan yang justru kurang sempurna.
J : Lepaskan kira2 1 minggu. Saya biasa melakukannya utk mengambil jarak dan melepaskan emosi thd naskah tsb. Lakukan sesuatu yg santai utk re charge, menyegarkan pikiran. Ini penting. Sesudah itu kita bisa membaca ulang dg emosi yg lbh stabil, pikiran segar, akan memberikan perspektif yg berbeda shg bisa dilakukan koreksi. Mood pasti tak hilang, akan mudah kita masuk lagi ke dalamnya, seperti deja vu. Coba saja.   

T : Kalo konflik masuk dalam ke-3 pokok bahasan tadi ga, Suker?
J : Konflik itu sepertinya bagian dalam alur. Bisa ditampilkan di awal cerita sebagai pembuka, atau di tengahnya. Bisa juga di akhir bila itu menggunakan gaya flashback atau open ending.

-----------------------------------------------------

SUMBER : Kelas Jum'at CENDOL, 9 November 2012 bersama Suker Sanie B Kuncoro
http://www.facebook.com/groups/Yayasan.Cendol.Universal.Nikko/doc/552268878122722/ 


 

6 komentar:

  1. Assalamualaikum, Mbak. Salam kenal.
    Makasih dah share tips menulis di blog ini. sangat membantuku untuk meningkatkan kembali penjiwaan atas cerita fiksi yang saat ini lagi dalam penulisan. Jujur sekarang masih ikut-ikut lomba gitu.
    FYI, aku ikut lomba penulisan novel Penerbit Bukune dan Bentang Pustaka.
    Anyway, Good luck aja!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumsalam

      Salam kenal. Alhamdulillah, senang rasanya bisa berbagi. Semoga bermanfaat.

      Semangat ..!!! Dan tetap menulis :) :)

      Hapus
  2. Akhirnya gw dapat jawaban dari sekian lama mencari dimanapun, thanks ya tips masuk banget ke otak gw, kece :D

    BalasHapus
  3. Kak, saya mau tanya, saya kan lagi buat naskah novel, lah naskah saya itu bnyak adegan tokohnya yang bicara sendiri karena saking sedihnya ceritanya. Saya cari di novel mnapun gk ada tulisan yg bhas penulisan ngomong sndiri. Tolong bntu saya kak🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adegan tokoh ngomong sendiri memang jarang ada. Setahu saya, biasanya apa yang diomongin tokoh tersebut ditulis sebagai narasi. Bukan tokohnya ngomong sendiri kek di sinetron kebanyakan :D :D :D

      Hapus

Terima kasih telah berbagi komentar