Rabu, 24 Agustus 2011

# Tinggal #

By Hana Aina

::

Hening
Tanpa suara
Hanya desah nafas yang menggema
Matamu menatap tajam
Hingga q tak mampu membalasnya
Tinggal bulir tanpa kata
Langkah kakimu menjauh
Tinggalkan rasa di dada
Tak dapat terganti
Walau dengan nyawa

Hati ini milik siapa

Tak perlu kau tanya
Walau kau jauh di sana
Q tak akan merana
Karna hati q telah kau bawa serta
Bersama mu romantika cinta
Terasa bagai angin syurga
Membelai lembut dawai asmara
Merasuk hingga ke sukma

Kasih q tanpa nama

Bibir kelu untuk menyebutnya
Biarlah q cumbu mesra
Semua kenangan yang hampir sirna
Tinggal pesona tanpa daya
Menemani q
Hingga ujung waktu

::

Solo, 9 November 2010

D.i.N.g.I.n

By Hana Aina

::

Dingin malam ini
Bukan karna butiran salju yang jatuh
Bukan pula karna tetesan air dari langit ke tujuh
Meski angin bergemuruh
Tak dingin raga q di terpa
Karna ada sesuatu yang lebih dingin dari semua
Tengah menyelimuti jiwa

Hati q
Membeku karna sikapmu
Angkuh
Bahkan lebih kukuh dari es
Menghujam bersama kristal beningnya
Menancap hingga ke sukma

Tak hanya sikap dan tutur kata
Hati mu bahkan telah terbelah dua
Kau berikan setengah nya untuk dia
Pertanda restu sebagai orang ke tiga

Tak tahu kah kau warna hati q
Tak dengar kah rintihan batin q
Memanggilmu agar kau kembali pada q
Menjadikan mu kembali seperti yang dulu
Tetap milik q satu

::

Solo, 2 November 2010

Selasa, 23 Agustus 2011

PENYESALAN CIKA

By Hana Aina

::

Cika merebahkan tubuhnya di atas sofa merah di ruang tengah. Ditariknya nafas panjang, sesaat kemudian dihembuskannya perlahan. Seragam sekolah merah putih masih melekat di tubuhnya. Mama Cika dengan berpakaian rapi muncul dari ruang makan.

“Cika, sudah pulang sayang. Makan dulu ya. Mama sudah siapkan di meja makan.” Kata Mama pada Cika sambil menenteng tas tangannya. Mama berjalan ke arah Cika lalu duduk di sampingnya.

“Sebentar Ma. Cika sedang ngadem ni.” Sahut Cika, malas. “Mama mau ke mana?”

“Mau belanja sebentar buat kebutuhan akhir bulan.” Mama membelai rambut Cika, anak si mata wayangnya.

“Ikut dong Ma.” Cika merayu Mama dengan manja. Ditarik-tariknya lengan baju Mama.

“Memangnya kamu nggak ada PR atau ulangan?” Mama menatap wajah Cika dengan lembut. Cika terdiam. Dia teringat PR matematika yang diberika bu Dewi seminggu yang lalu dan sampai saat ini belum ia kerjakan. Belum lagi ulangan bahasa Indonesia untuk besok. Tapi Cika sangat ingin ikut dengan Mama jalan-jalan.

Hmmm… Kan masih siang. Belajarnya kan bisa nanti sore. Kata Cika dalam hati.

“Hmm… Nggak kok Ma… Nggak ada” Suara Cika terbata.

“Tapi tadi katanya capek.” Mama coba mengingatkan Cika. Diusapnya rambut Cika dengan lembut.

“Itu kan tadi, sekarang sudah hilang kok.” Cika mencoba berkilah.

“Ya sudah cepetan ganti baju. Mama tunggu di luar ya.” Ucapan Mama membuat Cika bangkit dari kemalasannya. Ia sangat bersemangat sekarang.

Cika sangat senang hari itu. Jalan-jalan ke mall, belanja ini itu. Ia benar-benar telah melupakan tugas-tugasnya. Sepulang di rumah, Dini, teman bermain Cika, sudah menunggu di depan rumah.

“Cika, main yuk!” Ajak Dini pada Cika dari atas sepeda mini biru mudanya.

“Main?!” Cika merasa ragu sesaat. Ia teringat PR dan ulangan besok pagi. Hmmm… Tapi sekarang kan masih sore. Aku bisa belajar nanti malam.

“Ayo!” Cika mengingkari janjinya tadi siang, bahwa sepulang jalan-jalan ia akan selesaikan PR dan belajar untuk ulangan.

Sore itu Cika habiskan bermain bersama Dini hingga malam menjelang. Lampu meja belajar mulai dinyalakan. Buku pelajaran telah disiapkan. Cika menarik kursi lalu duduk manis di belakang meja. Tapi tiba-tiba Cika ingat sesuatu. Malam ini film kesukaannya akan diputar di televisi. Tidak akan aku lewatkan. Nonton film dulu, baru belajar. Lagi-lagi Cika mengingkari janjinya.

Cika menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Ditinggalnya buku pelajaran, dan digantinya dengan bantal-bantal yang ia susun nyaman di atas karpet yang terhampar di depan televisi.

Cika menikmati film kegemarannya dengan senang, ditemani es krim yang dibelinya tadi siang dan beberapa snack kesukaannya.

Film berakhir hampir tengah malam, sedangkan mata Cika sudah tak tahan lagi. Berlahan lahan di sekitarnya seakan meredup. Perlahan tapi pasti Cika mulai tumbang di depan televisi, diantara tumpukan bantal yang menyangga kepalanya. Lelap pun mulai menyelimuti. Cika tenggelam dalam mimpi.

Kriiiinnngggg…

Weker di meja belajar Cika memecah keheningan kamar. Cika tersetak kaget. Sesekali dia menguap sambil tangannya mengucek-ucek mata. Dicarinya jam dinding.

“Ha?! Jam enam?!” Cika bangkit dari posisi duduknya. Langkahnya bergegas ke kamar mandi.

“Tak ada waktu lagi.” Suaranya panik. Hanya dalam setengah jam dia harus siap dengan baju seragamnya. Dilangkahkannya kaki dengan sepatu bertali yang belum rapi benar. Langkahnya terseok karna harus pula berkonsentrasi dengan buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Rupanya Cika lupa belum menjadwal pelajaran hari ini.

Setibanya di meja makan, Papa sedang asyik membaca koran, sedangkan Mama menikmati sarapannya.

“Ayo Pa, kita berangkat!” Cika meminum susunya dengan terburu-buru.

“Ayo Pa...!” Cika merengek sambil menarik-narik kemeja Papanya.

Di dalam mobil pun Cika tidak mau diam. “Pa, cepet sedikit dong mobilnya.”

“Kenapa terburu-buru. Bukankah biasanya juga berangkat jam segini?” Tanya Papa yang merasa aneh dengan tingkah Cika. Cika hanya terdiam. Dia teringat akan PR yang belum diselesaikannya. Cika berharap masih ada waktu, jadi ia bisa menyelesaikannya di sekolah. Beberapa kali Cika melihat ke jam tangannya. Sudah hampir jam tujuh. Aduh, nggak keburu ni. Kata Cika dalam hati.

Sesampainya di sekolah Cika bergegas ke kelas. Dan benar Ibu Dewi, walikelas sekaligus guru matematika Cika sudah di depan pintu. Aduh, PRku…?! Jantung Cika berdegub kencang. Dia memasuki kelas dengan rasa takut di dada.

“Sekarang keluarkan PR kalian.” Cika kebingungan. Ia belum mengerjakan satu pun PR yang diberikan, hingga akhirnya bu Dewi memberinya hukuman. Cika harus menyelesaikan PRnya di ruang guru, dan mengulangnya hingga sepuluh kali.

Lelah sudah tangan Cika. Dia kembali ke kelas ketika jam pelajaran berikutnya. Barulah ia ingat kalau ada ulangan bahasa Indonesia. Tapi tak ada waktu lagi. Bu Ratna, guru bahasa Indonesia, sudah masuk kelas. Beliau memerintahkan semua murid untuk menutup buku dan menyiapkan selembar kertas karena ulangan akan segera dimulai. Cika mengeluarkan kertas kosong perlahan. Ada takut dalam hatinya. Tentu saja, dia kan belum belajar. Semenjak soal di bacakan hingga jam ulangan hampir usai, tak satu pun jawaban tertulis di kertas Cika.

Cika menyesal, sangat menyesal. Andai saja kemarin Cika tidak berbohong pada Mama kalau ada PR dan ulangan hari ini, pastilah Mama akan menyuruh Cika belajar. Andai Cika tidak menunda mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, pastinya Cika tidak dihukum dan bisa mengerjakan ulangan dengan baik, tidak seperti sekarang ini.

Mama, maafkan Cika. Suara Cika dalam hati, penuh penyesalan. Matanya memerah, air mata tak mampu di bendungnya. Cika menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulangi.

::

Solo, 7 Juni 2011

Cinta Sederhana

By Hana Aina

::

Q tak mengharap yang lebih
Hanya memandang apa yang bisa di pandang
Merasa apa yang bisa di rasa
Kalo pun itu tak ada
Q tak mengharap lebih

Hanya sebagai manusia aq mencinta

Dengan segala batas yang q punya
Cerita sederhana
Dan tak perlu logika
Yang dibutuh kan hanya rasa
Untuk memahami semua yang ada

Sederhana tapi bernyawa

Biar pun terpendam dalam namun setia
Terbungkus oleh romansa
Teduh tak tersentuh
Hanya akan tersingkap pada hatimu
Yang terpaut mati pada q

Raga q telah mati

Namun cinta q akan tetap bersemi
Terbit dan tenggelam bersama mentari
Tersenyum riang seolah bulan dan bintang
Bersemi mewangi di taman hati
Merasuk dalam sukmamu
Hingga kau tak perlu bersusah hati
Memahami cinta ini

::

Solo, 18 Oktober 2010

C.a.T.a.T.a.N H.a.T.i

By Hana Aina

::


Hati q tak pernah berharap jawaban dari mu

Kau tahu tentang rasa q

Itu sudah cukup

Menguras semua ganjil di hati

Membuat ruang kalbu q selapang dunia ini

Karna q tak bisa paksakan apapun

Juga tak mampu memohon pada siapapun

Kecuali Tuhan yang menghendaki


Q terus memendam rasa ini

Dalam diam seribua bahasa

Tenggelam dalam bisu anak manusia

Yang memegang teguh cinta

Walau hanya diterima sebelah mata

Namun keyakinan hati

Akan kesucian cinta yang abadi

Tak per
nah membuatnya menarik diri
Dari perjalanan panjang

Pencarian yang tak bertepi

Diantara takdir yang masih menjadi misteri


Terus mendaki tinggi

Menyelam jauh mendalam

Rahasia kehidupan yang tak terungkapkan

Termasuk cinta yang terpendam

Tak pernah terkuak ke permukaan

Hanya rasa yang terbalut asa

Berharap dari kejauhan

Tanpa bisa menjamah sebuah harapan

Bak fatamorgana di pelupuk mata














::


Solo, 11 Oktober 2010

^ Do'a ^

By Hana Aina

::

Pernahkan q ceritakan pada mu akan sebuah malam
Di saat gelap tak hanya menghadang
Tapi juga menusuk dan mencengkeram
Tak ada sapaan bulan dan bintang
Membuat hati tak pernah terbias penumbra
Apa lagi tertembus oleh cahaya
Saat itulah duka menyapa
Membawa resah dan air mata
Bersambut oleh amarah dan kecewa

Bulir bening menderas meronta
Saat jiwa tak dapat menerima semua nyata
Akan mimpi2 yang seakan sirna
Hanya raga yang dapat bersujud menghadap Yang Esa
Mohon belas kasihNya
Atas hambanya yang sedang tak berdaya
Mengarungi hidup di atas dunia
Menginjak duri dan kerikil tajam
Membuat nya berdarah dan meringis
Menyayat luka hingga menangis

Besar berharap semua ini hanya tertunda
Bukan lenyap hilang tanpa makna
Mimpi2 serta harapan
Yang terbang bersama doa2
Tak hanya terpanjat di sepertiga malam
Tapi juga tat kala hati merasa luang
Semua... Terhambur ke langit...
Memenuhi gerbang pintu surga
Menunggu dan mendesir
Ridho Tuhan yang tak akan berakhir
Karna Dia Maha Mendengar
Maha Melihat...Maha Pengasih dan Penyayang
Juga Maha Mengetahui atas semua yang nyata dan fana

Bait2 yang tak pernah putus
Mohonkan kebaikan atas akhirat dan dunia
Menjadikan lebih baik dari sebelumnya
Baik jiwa maupun raga
Indah dalam berakhlaq dan kepribadian
Tak hanya iptek... tapi juga iman dan taqwa

::

Solo, 1 Oktober 2010

Diam Ku

By Hana Aina

::

Pasir berbisik di antara angina
Tentang kisah yang tak pernah terungkap
Hanya pernah sekali terbaca
Lalu lenyap di telan gelombang kehidupan
Garis pantai memisahkannya
Antara nyata dan tiada
Camar pun berkisah ala kadarnya
Bersenandung bersama suara ombak
Sebagai saksi, dua hati yang tak bertepi
Menyatu dalam satu relung kalbu

Dan ketika dingin nya air laut menerpa
Mengingatkan rasa itu
Mengulang kembali memori lalu
Berharap waktu tak mengambil kembali dirimu
Dan semua janji yang tercipta untuk q
Hanya bisa menyusuri jejak ini
Berharap menemukanmu
Membawa kembali hati q
Yang telah menyatu dengan nafasmu

Betapa Tuhan begitu indah
Dan mencipta sesuatu yang indah
Tak hanya paras elok nan rupawan
Namun juga akhlak dan kepribadian
Dan bukan hanya semata pujian
Tapi rasa syukur dari hati terdalam

Langit semakin lembayung
Menutup cahaya hati
Gelap dalam sepi
Muram tanpa senyuman
Telah terenggut dengan paksa
Semua asa dan cinta
Meninggalkan luka menganga
Tak tersentuh oleh darah
Hanya membusuk bersama kenangan

Q kan menunggu
Walau seribu tahun berlalu
Q kan mencari
Walau rintangan tak ada henti
Hingga pesan itu terbalas
Oleh mu nan jauh di seberang
Antara benua dan lautan
Hanya terkoneksi oleh pelangi
Mengubah lingkarannya menjadi jantung hati
Menghias dunia menjadi warna warni

Dalam pelukan malam q rebahkan hati
Seiring senandung pengait rindu
Terdendang diantara peluh
Syahdu... Merdu...
Membelai diri lena diulir rindu
Menerawang ke dalam mimpi
Seraut wajah kekasih tampak pilu
Temaram remang tak jelas
Sedangkal keyakinan akan kisah ini
Tak akan berdawai hingga ke ujung nanti

::

Solo, 21 September 2010

Bulan & Bintang

By Hana Aina

::

Q dengar lirih
Bulan bercerita kepada malam
Tentang bintang sahabatnya
Setia menemani setiap gelap tiba
Terbit bersama, tenggelam pun berdua
Tak terpisahkan
Walau mendung menggelayut
Membawa hujan deras
Bersamanya pula badai kilat dan halilintar
Tak goyahkan ikatan
Karna Tuhan telah takdir kan
Mereka bersahabat selamanya

Bulan dan bintang
Bersama menghias langit
Dengan kilauan cahaya
Berbagi suka dan duka
Tak pernah saling menonjolkan diri
Apalagi menyakiti
Karna mereka sadar Tuhan telah berikan porsinya
Masing-masing punya kelebihan
Tapi juga kelemahan

Karnanya Tuhan menciptakan mereka berpasangan
Tak terpisahkan dalam kehidupan
Bekerja bersama
Penuhi takdir Tuhan

Hanya sesekali karna gerhana
Bulan tak tampak kan wajahnya
Bukan karna amarah
Bukan pula karna gundah

Bintang menunggu dengan sabar
Saat sahabat kembali dari peraduan
Membawa seribu satu cerita
Yang kan dihabiskan hingga pagi tiba

::

Solo, 15 September 2010