Selasa, 20 Oktober 2015
[LOMBA CERPEN] : FABER CASTELL 2015
Minggu, 22 Maret 2015
JEJAK SANG HITAM
Bel pulang berdering. Ku masukkan semua buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Aku pulang lewat gerbang belakang. Kulihat Aldi bersama beberapa temannya sibuk bergerombol. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku terus berjalan melewati mereka, menuju ke halte bus yang ada di jalan Slamet Riyadi. Sebuah bus berhenti, aku masuk ke dalamnya.
Jumat, 02 Januari 2015
HATI UNTUK SHEILA
Senin, 24 November 2014
THE DARK HOLE (PART 2)
Ai menggeser tas ransel berisi peralatan kemah dan beberapa keperluan lainnya. Entah mengapa perasannya mengatakan akan ada petualangan besar menantinya. Setelah merasa tas itu nyaman di punggungnya, Ai membonceng di belakang sepeda yang dikemudikan Io. Suasana di luar masih sama. Sepi dan abu-abu.
Rabu, 12 November 2014
THE DARK HOLE (PART1)
Bulan masih bulat penuh saat Ai menutup jendela kamarnya. Bulan itu tak lagi berwarna kuning, begitu pula semua yang ada di sekitarnya. Semua tinggal abu-abu dengan intensitas berbeda-beda. Semenjak dark hole terbuka, semua warna di dunia ini leyap, terserap olehnya.
Selasa, 25 Desember 2012
PING YANG GAK PINK
--------------------------------------------------------------------
Add caption |
“Beib, jangan makan emping terus, yang lain, dong,” kata Jhenny sambil manyun. Jono yang sedari tadi asyik ngunyah emping terdiam. Remahan emping masih tertahan di mulutnya. Jhenny memperhatikan beberapa makanan ringan yang terhidang di hadapannya. Sepiring donat bolong, singkong keju, tempe penyet dan pisang madu, sudah semua dicicipin Jhenny. Sedang Jono hanya setia pada empingnya. Jangankan mencoba yang lain, melirik pun tidak.
Jono terdiam menelan lambat emping yang tertahan di tenggorokannya, sesaat kemudian melanjutkan ngemilnya. Jhenny yang sedari tadi bersamanya ngerasa dicuekin mengeluarkan si Cuping dari boxnya. Ya, Cuping si kucing kesayangannya. Dia juga membawanya ke sekolah. Hanya saja tak dibawa masuk kelas, tapi dititipkan pada bu Darni, penjaga kantin sekolah.
Jhenny membelai lembut bulu Cuping yang putih bersih. Di rapikannya pita warna pink yang menghiasi bulu kepalanya yang sengaja di kuncir sedikit. Cuping yang merasa mendapatkan perhatian lebih mengibas-ibaskan ekornya tanda suka.
Jono melirik pada Jhenny, “kenapa si Cuping terus yang belai. Sekali-kali aku. Dicium gitu juga mau,” kata Jono, manyun.
“Ih, maunya,” jawab Jhenny singkat. Jhenny menggendong Cuping dalam pelukannya, Sesekali diciumnya kucing Persia berbulu lebat yang sudah hampir satu tahun ini setia menemaninya.
“Beib, udah dong. Jangan Cuping terus yang diurusin. Empet tahu lihatnya,” pinta Jono sambil terus ngemil.
“Kamu juga, Beib. Udahan ngemil empingnya. Nggak tahan tahu sama aromanya,” balas Jhenny sambil sekali-kali ngelirik ke Jono.
“Tapi ini kan enak,” ujar Jono sambil memperlihatkan sebuah emping ditangannya yang tak lama kemudian masuk ke mulutnya.
“Sama. Ini juga asyik, “ Jhenny nggak mau kalah.
Mereka terdiam dan saling beradu pandang. Sesaat kemudian mereka kembali dengan keasyikannya masing-masing. Jono dengan empingnya sedang Jhenny dengan kucingnya.
***
Saat jam istirahat Jhenny merapat ke Jono yang sedang menikmati soto ayam di kantin. Jhenny langsung duduk di sampiung Jono. Jono yang kaget tak kuasa menelan nasi soto yang ada di mulutnya. Alhasil, dirinya terdesak lalu terbatuk.
“Eh, Beib, maaf,“ Jhenny yang sadar akan tingkahnya telah membuat Jono tersedak hingga wajahnya merah padam mengambil teh hangat di dekat mangkok, lalu memberikannya pada Jono. Jono dengan cepat menerimanya lalu menyeruputnya perlahan hingga sisa-sisa nasi yang menyangkut di kerongkongannya tersapu semua masuk ke dalam perut.
“Ada apa sih, Beib, kok segitunya?” tanya Jono sambil sesekali terbatuk.
Jhenny cemberut. "Kita gak bisa nge-ping lagi" katanya. Jono terkejut mendengar kata-kata Jhenny. Ia menelan ludah perlahan.
"Maksudmu, cinta kita gak lagi merah jambu?" tanya Jono. Matanya berkaca, suaranya bergetar.
“Bukan itu,” katanya sambil mengusap air mata yang jatuh di sudut matanya. Ia terisak.
“Si Cuping mati,” katanya singkat, ”ketabrak mobil pagi tadi,”
“Oh, aku kira apa,” Suasana hati Jono kembali normal setelah mendengar penjelasan singkat dari Jhenny. Paling tidak bukan cinta Jhenny padanya yang mati. Tapi si Cuping , kucing Jhenny yang selama ini jadi uring-uringan antara Jhenny dengannya.
“Kok kamu gitu sih? Nggak sedih ya?” Jhenny melihat ke arah Jono, sedikit heran.
“Eh, bukan gitu, Beib,” Jono berusaha pasang wajah sedih. “Tapi apa hubungannya kematian Cuping dengan kita?”
“Tentu saja ada. Setiap kita kencan, kamu selalu bawa emping, aku selalu bawa si Cuping. Nah, kalau sekarang Cuping nggak ada lagi, aku nggak ada teman dong buat nge-ping lawan kamu,” kata Jhenny, sedikit mewek.
“Oh,” ekspresi Jono sedikit bingung.
“Mulai sekarang, aku nggak mau lagi dengar kata ping, termasuk emping kamu itu,” kata Jhenny sambil menahan tangis.
“Besok valentine pun aku nggak mau ada warna pink,” tambahnya.
“Lho, kok?” Jono tambah bingung.
“Mau ping atau pink, aku nggak peduli,” ujar Jhenny sambil mengambil secarik tisu dari kantong seragam atas. Disekanya air mata yang sedari tadi membasahi matanya.
“Tapi kan beda, Beib,” Jono coba menjelaskan.
“Tapi kan kalau didengar sama bunyinya,” Jhenny tetap kekeh. Diulangnya dua kata yang homofon itu, “Ping. Pink,”
“Tapi, Beib, kalau valentine kan identik sama warna itu,” Jono nggak mau kalah.
“Nggak mau. Ganti warna lain. Merah kek, ungu kek. Pokoknya bukan pink,”
“Eh, iya deh,” Jono tersenyum kecut. Nasi soto yang masih hangat dengan sambal kecap dan taburan bawang goreng serta percikan jeruk nipis tak membangkitkan seleranya lagi. Dia teringat hadiah yang sudah disiapkannya untuk Jhenny. Rencananya akan diberikan waktu valentine yang akan datang beberapa hari lagi.
***
Jono mengendarai sepeda motornya perlahan. Baru saja ia mengantar Jhenny pulang ke rumah setelah seharian mereka jalan-jalan.
Valentine sudah berlalu. Pink tak ada lagi. Ia telah mengubah hadiah bantal jantung hati yang semula berwarna pink menjadi ungu, sesuai dengan permintaan Jhenny. Meski dia harus rela tangannya belepotan karna merendam bantal itu sehari semalam dalam pewarna tekstil. Tapi dia rela. Asal Jhenny bahagia.
“Demi Jhenny apapun akan aku lakukan, kecuali yang satu ini,” Jono berhenti di sebuah taman di tengah kota. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari kantong jaketnya. Angin berhembus sepoi.
“Sorry Beib, aku memang cinta kamu. Tapi aku lebih cinta empingku,” kata Jono sambi tertawa geli. Ia ingat janjinya pada Jhenny yang gak akan makan emping lagi. Tapi itu kalau bersama Jhenny. Tapi kalau dia sedang sendiri, siapa lagi teman setianya kalau bukan emping.
THE END
Sabtu, 22 Desember 2012
MAAFMU
-----------------------------------
THE END
Kamis, 18 Oktober 2012
LUKISAN RAKA
Senin, 15 Oktober 2012
JANJI TERAKHIR
Minggu, 14 Oktober 2012
FF : BUKAN AKU ATAUPUN DIA
Kedua pasang mata itu beradu, penuh arti.
"Kebahagiaanku adalah aku berada disisimu saat kau membutuhkanku. Mengusap air matamu saat kau tersedu. Mengangkat beban di pundakmu dan membaginya bersamaku. Hingga kutemukan kembali senyuman manis di bibirmu." Leo mengambil jeda. "Itulah kebahagiaan sejatiku."
Ashy menatap penuh cinta lelaki di depannya. Ingin ia tersenyum, tapi tak mampu. Bibirnya bergetar. Air matanya tumpah. Lalu ia pun tertunduk.
Sedang Leo, hatinya mencelos melihat wanita yang dicintainya tersedu di depannya. Ingin ia merengkuh Ashy, memeluknya, mendekapnya erat di dada.
"Maafkan aku. Aku tak bisa menikah denganmu." Ashy maju selangkah dan menjatuhkan diri di bahu Leo. Ia terus menahan tangisnya, namun tak bisa, saat tangan Leo menariknya lebih rapat, menyatukan sedunya dengan degup jantungnya.
Ashy tercekat. Seketika ia tak mampu bernafas.
"Tak ada yang perlu dimaafkan," kata Leo, mendekap Ashy lebih erat. "Kalau kau tidak menjadi milikku, maka orang lain pun tidak."
Tubuh Ashy berguncang. Sebuah pisau menancap di perutnya. Darah mengalir deras membasahi gaun pengantinnya. Leo menarik pisau itu dari perut Ashy sesaat sebelum tubuh wanita itu terjatuh ke lantai. Sesaat kemudian Leo menancapkan pisau itu ke tubuhnya, menyusul kekasihnya.
THE END
Sabtu, 13 Oktober 2012
SEPENGGAL KISAH DI RUMAH TUA
Selasa, 23 Agustus 2011
PENYESALAN CIKA
::
Cika merebahkan tubuhnya di atas sofa merah di ruang tengah. Ditariknya nafas panjang, sesaat kemudian dihembuskannya perlahan. Seragam sekolah merah putih masih melekat di tubuhnya. Mama Cika dengan berpakaian rapi muncul dari ruang makan.
“Cika, sudah pulang sayang. Makan dulu ya. Mama sudah siapkan di meja makan.” Kata Mama pada Cika sambil menenteng tas tangannya. Mama berjalan ke arah Cika lalu duduk di sampingnya.
“Sebentar Ma. Cika sedang ngadem ni.” Sahut Cika, malas. “Mama mau ke mana?”
“Mau belanja sebentar buat kebutuhan akhir bulan.” Mama membelai rambut Cika, anak si mata wayangnya.
“Ikut dong Ma.” Cika merayu Mama dengan manja. Ditarik-tariknya lengan baju Mama.
“Memangnya kamu nggak ada PR atau ulangan?” Mama menatap wajah Cika dengan lembut. Cika terdiam. Dia teringat PR matematika yang diberika bu Dewi seminggu yang lalu dan sampai saat ini belum ia kerjakan. Belum lagi ulangan bahasa Indonesia untuk besok. Tapi Cika sangat ingin ikut dengan Mama jalan-jalan.
Hmmm… Kan masih siang. Belajarnya kan bisa nanti sore. Kata Cika dalam hati.
“Hmm… Nggak kok Ma… Nggak ada” Suara Cika terbata.
“Tapi tadi katanya capek.” Mama coba mengingatkan Cika. Diusapnya rambut Cika dengan lembut.
“Itu kan tadi, sekarang sudah hilang kok.” Cika mencoba berkilah.
“Ya sudah cepetan ganti baju. Mama tunggu di luar ya.” Ucapan Mama membuat Cika bangkit dari kemalasannya. Ia sangat bersemangat sekarang.
Cika sangat senang hari itu. Jalan-jalan ke mall, belanja ini itu. Ia benar-benar telah melupakan tugas-tugasnya. Sepulang di rumah, Dini, teman bermain Cika, sudah menunggu di depan rumah.
“Cika, main yuk!” Ajak Dini pada Cika dari atas sepeda mini biru mudanya.
“Main?!” Cika merasa ragu sesaat. Ia teringat PR dan ulangan besok pagi. Hmmm… Tapi sekarang kan masih sore. Aku bisa belajar nanti malam.
“Ayo!” Cika mengingkari janjinya tadi siang, bahwa sepulang jalan-jalan ia akan selesaikan PR dan belajar untuk ulangan.
Sore itu Cika habiskan bermain bersama Dini hingga malam menjelang. Lampu meja belajar mulai dinyalakan. Buku pelajaran telah disiapkan. Cika menarik kursi lalu duduk manis di belakang meja. Tapi tiba-tiba Cika ingat sesuatu. Malam ini film kesukaannya akan diputar di televisi. Tidak akan aku lewatkan. Nonton film dulu, baru belajar. Lagi-lagi Cika mengingkari janjinya.
Cika menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Ditinggalnya buku pelajaran, dan digantinya dengan bantal-bantal yang ia susun nyaman di atas karpet yang terhampar di depan televisi.
Cika menikmati film kegemarannya dengan senang, ditemani es krim yang dibelinya tadi siang dan beberapa snack kesukaannya.
Film berakhir hampir tengah malam, sedangkan mata Cika sudah tak tahan lagi. Berlahan lahan di sekitarnya seakan meredup. Perlahan tapi pasti Cika mulai tumbang di depan televisi, diantara tumpukan bantal yang menyangga kepalanya. Lelap pun mulai menyelimuti. Cika tenggelam dalam mimpi.
Kriiiinnngggg…
Weker di meja belajar Cika memecah keheningan kamar. Cika tersetak kaget. Sesekali dia menguap sambil tangannya mengucek-ucek mata. Dicarinya jam dinding.
“Ha?! Jam enam?!” Cika bangkit dari posisi duduknya. Langkahnya bergegas ke kamar mandi.
“Tak ada waktu lagi.” Suaranya panik. Hanya dalam setengah jam dia harus siap dengan baju seragamnya. Dilangkahkannya kaki dengan sepatu bertali yang belum rapi benar. Langkahnya terseok karna harus pula berkonsentrasi dengan buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Rupanya Cika lupa belum menjadwal pelajaran hari ini.
Setibanya di meja makan, Papa sedang asyik membaca koran, sedangkan Mama menikmati sarapannya.
“Ayo Pa, kita berangkat!” Cika meminum susunya dengan terburu-buru.
“Ayo Pa...!” Cika merengek sambil menarik-narik kemeja Papanya.
Di dalam mobil pun Cika tidak mau diam. “Pa, cepet sedikit dong mobilnya.”
“Kenapa terburu-buru. Bukankah biasanya juga berangkat jam segini?” Tanya Papa yang merasa aneh dengan tingkah Cika. Cika hanya terdiam. Dia teringat akan PR yang belum diselesaikannya. Cika berharap masih ada waktu, jadi ia bisa menyelesaikannya di sekolah. Beberapa kali Cika melihat ke jam tangannya. Sudah hampir jam tujuh. Aduh, nggak keburu ni. Kata Cika dalam hati.
Sesampainya di sekolah Cika bergegas ke kelas. Dan benar Ibu Dewi, walikelas sekaligus guru matematika Cika sudah di depan pintu. Aduh, PRku…?! Jantung Cika berdegub kencang. Dia memasuki kelas dengan rasa takut di dada.
“Sekarang keluarkan PR kalian.” Cika kebingungan. Ia belum mengerjakan satu pun PR yang diberikan, hingga akhirnya bu Dewi memberinya hukuman. Cika harus menyelesaikan PRnya di ruang guru, dan mengulangnya hingga sepuluh kali.
Lelah sudah tangan Cika. Dia kembali ke kelas ketika jam pelajaran berikutnya. Barulah ia ingat kalau ada ulangan bahasa Indonesia. Tapi tak ada waktu lagi. Bu Ratna, guru bahasa Indonesia, sudah masuk kelas. Beliau memerintahkan semua murid untuk menutup buku dan menyiapkan selembar kertas karena ulangan akan segera dimulai. Cika mengeluarkan kertas kosong perlahan. Ada takut dalam hatinya. Tentu saja, dia kan belum belajar. Semenjak soal di bacakan hingga jam ulangan hampir usai, tak satu pun jawaban tertulis di kertas Cika.
Cika menyesal, sangat menyesal. Andai saja kemarin Cika tidak berbohong pada Mama kalau ada PR dan ulangan hari ini, pastilah Mama akan menyuruh Cika belajar. Andai Cika tidak menunda mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, pastinya Cika tidak dihukum dan bisa mengerjakan ulangan dengan baik, tidak seperti sekarang ini.
Mama, maafkan Cika. Suara Cika dalam hati, penuh penyesalan. Matanya memerah, air mata tak mampu di bendungnya. Cika menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulangi.
::Solo, 7 Juni 2011