Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Oktober 2015

[LOMBA CERPEN] : FABER CASTELL 2015


Tidak bisa dihindari bahwa misteri merupakan bagian dari kehidupan manusia. Misteri di sini tidak hanya mengenai hantu ataupun sejenisnya, melainkan mengenai keinginan manusia untuk mencari penjelasan atas hal-hal yang misterius. Contohnya adalah kehidupan seorang detektif yang mendedikasikan dirinya untuk menyelidiki kasus-kasus yang tidak terjawab, lalu juga cerita-cerita dongeng bahwa ada makhluk halus yang membantu atau menyakiti manusia dalam kasus-kasus yang tidak bisa dijelaskan nalar, dan berbagai macam cerita lainnya.
Peristiwa aneh, teka-teki, kasus-kasus tidak terjawab; itu semua merupakan bagian dari misteri secara umum yang sangat menarik untuk digali dan menciptakan karya-karya yang sangat menghibur atau mungkin juga menegangkan.
Kami tunggu karya-karya kreatif kalian!

Minggu, 22 Maret 2015

JEJAK SANG HITAM


         Bel pulang berdering. Ku masukkan semua buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Aku pulang lewat gerbang belakang. Kulihat Aldi bersama beberapa temannya sibuk bergerombol. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku terus berjalan melewati mereka, menuju ke halte bus yang ada di jalan Slamet Riyadi. Sebuah bus berhenti, aku masuk ke dalamnya.
Perlahan bus bergerak menuju ke bunderan Gladag. Aku duduk di samping jendela. Ku lihat keluar, lalu lintas mendadak ramai. Beberapa anak sekolah dengan berkendara motor keluar dari gang sekolahku, lalu berarak searah dengan bus yang ku tumpangi. Mereka memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi, lalu menghilang di keramaian lalu lintas.
Hampir mendekati bunderan Gladag, mendadak busku berhenti. Seorang pengguna jalan meminta sopir untuk berputar. Dari penjelasan yang ku dengar, ada tawuran di sana. Aku coba melihat dari kaca jendela, tapi kacanya tak bisa ku buka. Aku putuskan turun, lalu berjalan mendekati tempat kejadian.

Jumat, 02 Januari 2015

HATI UNTUK SHEILA

Pintu masih terkunci. Sementara sang raja siang telah menyombongkan tahtanya di luar sana. Angin terkadang mengetuk lembut daun pintu berwarna cokelat gelap yang dipahat sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan mewah pada tiap ukirannya.
Buyar. Lamunanku tentangnya terpecah seketika saat pintu kamarku diketuk dari luar. "Kamu masih ngelamun aja, Nal. Cepat berangkat!"
"Eh, iya. Bu." Aku kenakan lagi benda bulat di jari tengahku, meskipun agak sedikit sempit tapi aku suka memakainya.
Pagi itu kuminta supir taksinya untuk mengendarai lebih cepat. Sesampainya di depan kantor, segera kubayar argonya dan aku berlari menghampiri lift yang dikerumuni banyak orang. Lift seakan berjalan lambat, sedang waktu berjalan terlalu cepat. Aku mengetuk perlahan pintu bosku dengan sangat hati-hati.
"Masuk!" Titahnya. Suara menggelegar itu hampir saja menciutkan nyaliku.
"Selamat pagi, pak!"
"Selamat siang!" Jawabnya tegas. Kumisnya yang lebat seakan mengancam keselamatanku.
"Maaf, Pak. Saya..."
"Duduk!" Aku menarik keluar kursi yang bersembunyi di bawah meja. Kini aku duduk tepat di depan bosku.

Senin, 24 November 2014

THE DARK HOLE (PART 2)

Sebelumnya ... The Dark Hole Part 1

Ai menggeser tas ransel berisi peralatan kemah dan beberapa keperluan lainnya. Entah mengapa perasannya mengatakan akan ada petualangan besar menantinya. Setelah merasa tas itu nyaman di punggungnya, Ai membonceng di belakang sepeda yang dikemudikan Io. Suasana di luar masih sama. Sepi dan abu-abu.
Sepuluh menit perjalanan, melewati beberapa blok rumah, Io dan Ai tiba di lapangan sekolah. Lapangan berukuran sepuluh kali lima belas meter itu terletak pada bagian belakang sekolah, berbatasan dengan hutan kecil yang menghubungkan sekolah mereka dengan sebuah bukit di belakangnya.
Jo belum datang, dan itu membuat mereka berdua sedikit kecewa. “Dia berbohong,” ujar Ai dengan nada kecewa. Ia masih sempat berharap kalau Jo adalah salah satu orang yang akan membantunya mengatasi semua ini.
“Bisa juga tidak.” Io menanggapi dengan enteng. Ia menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon besar, lalu melepas tas ransel dari punggungnya. “Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari. Ini masih kurang beberapa menit lagi. Kita yang terlalu cepat.”

Rabu, 12 November 2014

THE DARK HOLE (PART1)


Bulan masih bulat penuh saat Ai menutup jendela kamarnya. Bulan itu tak lagi berwarna kuning, begitu pula semua yang ada di sekitarnya. Semua tinggal abu-abu dengan intensitas berbeda-beda. Semenjak dark hole terbuka, semua warna di dunia ini leyap, terserap olehnya.
Adalah kesalahan Ai yang membuka penutup dark hole. Meski ia tidak sengaja. Semua bermula dari kegiatan kerja bakti yang diadakan sekolah mereka dua hari yang lalu. Disaat membersihkan halaman belakang yang penuh semak belukar, Ai yang berumur lima belas tahun saat itu ditemani Io, kakaknya yang setahun lebih tua darinya, tak sengaja menarik penutup dark hole. Penutupnya hanya berupa batu berbentuk oval yang tertancap di tanah. Namun setelah batu itu tercabut, dark hole terbentuk. Dari sanalah kegelapan bermula. Dark hole menyerap semua warna yang ada di dunia ini dan menukarnya dengan abu-abu.
Seketika seluruh dunia gempar. Pemberitaan media cetak maupun elektronik mengenai fenomena ini merebak. Para ilmuwan dari berbagai neraga mengadakan penelitian bersama, membahas tentang keanehan yang terjadi, menghilangnya warna dari dunia. Pasukan militer di setiap negara diwajibkan bersiaga, memantau perkembangan setiap saat kalau-kalau terjadi ancaman yang tak diinginkan.

Selasa, 25 Desember 2012

PING YANG GAK PINK

By. Hana Aina
--------------------------------------------------------------------



Add caption
     Sepulang sekolah Jhenny ngajak Joni ketemuan di kantin belakang sekolah. Saat itu sudah sepi.
     “Beib, jangan makan emping terus, yang lain, dong,” kata Jhenny sambil manyun. Jono yang sedari tadi asyik ngunyah emping terdiam. Remahan emping masih tertahan di mulutnya. Jhenny memperhatikan beberapa makanan ringan yang terhidang di hadapannya. Sepiring donat bolong, singkong keju, tempe penyet dan pisang madu, sudah semua dicicipin Jhenny. Sedang Jono hanya setia pada empingnya. Jangankan mencoba yang lain, melirik pun tidak.
     Jono terdiam menelan lambat emping yang tertahan di tenggorokannya, sesaat kemudian melanjutkan ngemilnya. Jhenny yang sedari tadi bersamanya ngerasa dicuekin  mengeluarkan si Cuping dari boxnya. Ya,
Cuping si kucing kesayangannya. Dia juga membawanya ke sekolah. Hanya saja tak dibawa masuk kelas, tapi dititipkan pada bu Darni, penjaga kantin sekolah.
     Jhenny membelai lembut bulu
Cuping yang putih bersih. Di rapikannya pita warna pink yang menghiasi bulu kepalanya yang sengaja di kuncir sedikit. Cuping yang merasa mendapatkan perhatian lebih mengibas-ibaskan ekornya tanda suka.
     Jono melirik pada Jhenny, “kenapa si
Cuping terus yang belai. Sekali-kali aku. Dicium gitu juga mau,” kata Jono, manyun.
     “Ih, maunya,” jawab Jhenny singkat. Jhenny menggendong
Cuping dalam pelukannya, Sesekali diciumnya kucing Persia berbulu lebat yang sudah hampir satu tahun ini setia menemaninya.
     “Beib, udah dong. Jangan
Cuping terus yang diurusin. Empet tahu lihatnya,” pinta Jono sambil terus ngemil.
     “Kamu juga, Beib. Udahan ngemil empingnya. Nggak tahan tahu sama aromanya,” balas Jhenny sambil sekali-kali ngelirik ke Jono.
    “Tapi ini kan enak,” ujar Jono sambil memperlihatkan sebuah emping ditangannya yang tak lama kemudian masuk ke mulutnya.
     “Sama. Ini juga asyik, “ Jhenny nggak mau kalah.
     Mereka terdiam dan saling beradu pandang. Sesaat kemudian mereka kembali dengan keasyikannya masing-masing. Jono dengan empingnya sedang Jhenny dengan kucingnya.

***

      Saat jam istirahat Jhenny merapat ke Jono yang sedang menikmati soto ayam di kantin. Jhenny langsung duduk di sampiung Jono. Jono yang kaget tak kuasa menelan nasi soto yang ada di mulutnya. Alhasil, dirinya terdesak lalu terbatuk.
     “Eh, Beib, maaf,“ Jhenny yang sadar akan tingkahnya telah membuat Jono tersedak hingga wajahnya merah padam mengambil teh hangat di dekat mangkok, lalu memberikannya pada Jono. Jono dengan cepat menerimanya lalu menyeruputnya perlahan hingga sisa-sisa nasi yang menyangkut di kerongkongannya tersapu semua masuk ke dalam perut.
     “Ada apa sih, Beib, kok segitunya?” tanya Jono sambil sesekali terbatuk.
    Jhenny cemberut. "Kita gak bisa nge-ping lagi" katanya. Jono terkejut mendengar kata-kata Jhenny. Ia menelan ludah perlahan.
     "Maksudmu, cinta kita gak lagi merah jambu?" tanya Jono. Matanya berkaca, suaranya bergetar.
     “Bukan itu,” katanya sambil mengusap air mata yang jatuh di sudut matanya. Ia terisak.
     “Si
Cuping mati,” katanya singkat, ”ketabrak mobil pagi tadi,”
     “Oh, aku kira apa,” Suasana hati Jono kembali normal setelah mendengar penjelasan singkat dari Jhenny. Paling tidak bukan cinta Jhenny padanya yang mati. Tapi si
Cuping , kucing Jhenny yang selama ini jadi uring-uringan antara Jhenny dengannya.
     “Kok kamu gitu sih? Nggak sedih ya?” Jhenny melihat ke arah Jono, sedikit heran.
     “Eh, bukan gitu, Beib,” Jono berusaha pasang wajah sedih. “Tapi apa hubungannya kematian
Cuping dengan kita?”
     “Tentu saja ada. Setiap kita kencan, kamu selalu bawa emping, aku selalu bawa si
Cuping. Nah, kalau sekarang Cuping nggak ada lagi, aku nggak ada teman dong buat nge-ping lawan kamu,” kata Jhenny, sedikit mewek.
     “Oh,” ekspresi Jono sedikit bingung.
     “Mulai sekarang, aku nggak mau lagi dengar kata ping, termasuk emping kamu itu,” kata Jhenny sambil menahan tangis.
     “Besok valentine pun aku nggak mau ada warna pink,” tambahnya.
     “Lho, kok?” Jono tambah bingung.
     “Mau ping atau pink, aku nggak peduli,” ujar Jhenny sambil mengambil secarik tisu dari kantong seragam atas. Disekanya air mata yang sedari tadi membasahi matanya.
     “Tapi kan beda, Beib,” Jono coba menjelaskan.
    “Tapi kan kalau didengar sama bunyinya,” Jhenny tetap kekeh. Diulangnya dua kata yang homofon itu, “Ping. Pink,”
     “Tapi, Beib, kalau valentine kan identik sama warna itu,” Jono nggak mau kalah.
     “Nggak mau. Ganti warna lain. Merah kek, ungu kek. Pokoknya bukan pink,”
    “Eh, iya deh,” Jono tersenyum kecut. Nasi soto yang masih hangat dengan sambal kecap dan taburan bawang goreng serta percikan jeruk nipis tak membangkitkan seleranya lagi. Dia teringat hadiah yang sudah disiapkannya untuk Jhenny. Rencananya akan diberikan waktu valentine yang akan datang beberapa hari lagi.

***

     Jono mengendarai sepeda motornya perlahan. Baru saja ia mengantar Jhenny pulang ke rumah setelah seharian mereka jalan-jalan.
    Valentine sudah berlalu. Pink tak ada lagi. Ia telah mengubah hadiah bantal jantung hati yang semula berwarna pink menjadi ungu, sesuai dengan permintaan Jhenny. Meski dia harus rela tangannya belepotan karna merendam bantal itu sehari semalam dalam pewarna tekstil. Tapi dia rela. Asal Jhenny bahagia.
    “Demi Jhenny apapun akan aku lakukan, kecuali yang satu ini,” Jono berhenti di sebuah taman di tengah kota. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari kantong jaketnya. Angin berhembus sepoi.
    “Sorry Beib, aku memang cinta kamu. Tapi aku lebih cinta empingku,” kata Jono sambi tertawa geli. Ia ingat janjinya pada Jhenny yang gak akan makan emping lagi. Tapi itu kalau bersama Jhenny. Tapi kalau dia sedang sendiri, siapa lagi teman setianya kalau bukan emping.


THE END

Sabtu, 22 Desember 2012

MAAFMU

By. Hana Aina
-----------------------------------
“Terima kasih. Kau telah mempermudah jalanku,” suara David disusul tawa yang membahana.
Aku merasa bodoh sekarang. Pesona David telah memperdayaiku. Seharusnya aku tidak menghiraukan ajakan David untuk bersekongkol menjatuhkan kakakku, mengalahkannya dalam pencalonan ketua OSIS. Sikap licik David telah berhasil membuatnya kalah telak dengan suara hanya 181. Itu sangat jauh dibanding suara yang didapat David, 419 suara.
“Maafkan aku,” pintaku pada Kak Irfan yang duduk di depanku. Ia hanya tediam, menahan marah. “Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan kakak,”
“Aku hanya kesal pada kakak karena tidak memasukkan aku sebagai tim sukses,”
“Kau tidak masuk saja telah berhasil membuat semuanya jadi berantakan, bagaimana kalau masuk, pasti semua hancur,”
Kak Irfan terdiam lalu membuang nafas panjang. Ia berdiri dan meninggalkanku dalam kedaan bersalah. Image yang ia bangun selama 3 tahun di SMU sebagai siswa teladan dan berprestasi aku runtuhkan begitu saja dalam sehari. Mungkin, tak akan ada pengampunan darinya, meski ribuan maaf telah aku lontarkan.
***
Pelantikan ketua OSIS segera dimulai. Semua murid berkumpul di lapangan layaknya upacara. Aku sengaja mengambil barisan paling depan agar aku bisa melihat dengan jelas wajah kemenangan David. Saat kepala sekolah mengumumkan ketua OSIS yang baru, David berjalan maju ke mimbar. Aku pun tak sabar mengikutinya maju ke depan.
“Rifka?” tanya kepala sekolah, heran melihatku maju ke depan. David yang berdiri di sampingku menahan amarah. Wajahnya merah padam.
“Maaf, Pak, jika saya lancang. Ijinkan saya berbicara sesuatu,” tanpa persetujuan kepala sekolah segera aku ambil mic.
“Pemimpin adalah teladan. Dia harus punya sikap yang jujur dan kesatria. Bukan pengecut dan licik,” mendadak aku seperti berorase di depan publik.
“Apa maksudmu?” tanya kepala sekolah, bingung dengan apa yang sebenarnya yang ingin aku katakan.
“David telah berbuat curang. Ia meminta saya untuk menfitnah calon ketua OSIS yang lain, Irfan Dwi Pratomo,” tak tahan rasanya aku menyimpan kebenaran itu sendiri. Aku ingin semua tahu bahwa desas desus yang mengatakan bahwa Kak Irfan pengguna narkoba adalah tidak benar.
“Kau memfitnah kakakmu sediri?” tanya kepala sekolah, tak percaya. Aku hanya mengangguk, penuh penyesalan.
“Bohong. Dia bohong, Pak,” David berusaha mengelak. “Jangan asal tuduh. Kalau tak punya bukti, itu fitnah,”
“Aku punya buktinya,” aku mengeluarkan ponsel dari saku baju. Memutar rekamannya lalau mendekatkannya ke mic agar semua mendengar.
Untung saat itu aku sempat merekam pembicaraan saat David memintaku membantunya melancarkan siasat liciknya. Sebagai gantinya, dia akan menjadikanku kekasihnya. Itulah kebodohanku. Tersihir oleh pesona ketampanan David, hingga mau melakukan apa saja untuknya.
“Itu suaramu, kan, David?” tanya kepala sekolah, mempertegas.
“Itu…” David kehilangan kata-katanya. Ia tak mampu lagi menutupi kebohongannya.
“Ya, benar. Itu suara David,” salah satu murid di barisan tengah tiba-tiba berteriak.
“Saya di sini untuk mengungkapkan kebenaran, sekaligus meminta maaf pada kak Irfan, kakak saya, calon ketua OSIS sekolah kita,” kataku, penuh harap kak Irfan mau memaafkan.
“Pemilihan harus diulang, Pak,” teriak murid yang lain.
“Setuju..!!!” murid-murid mulai ricuh.
“Baiklah. Meski kita telah kehilangan banyak waktu dan tenaga, tapi demi kejujuran dan sportifitas, akan diadakan pemilihan ulang besok pagi,” ujar kepala sekolah menenangkan.
***
“Kejujuran itu terkadang harus dibayar dengan mahal, ya,” kataku pada kak Irfan yang duduk di sampingku sambil menikmati es krim coklat yang mulai lumer. Siang itu, di warung belakang sekolah, terasa sejuk. Bukan hanya karena kami sedang menikmati es krim, tapi juga karena ketegangan di antar aku dan Kak Irfan mulai mencair.
“Apa kau tidak menyesal?” tanya kak Irfan. Pertanyaannya mengandung banyak makna untukku.
“Menyesal untuk apa?” tanyaku.
“Tidak jadi kekasihnya David,” jawab Kak Irfan sambi melirik ke arahku.
“Sepertinya lebih enak jadi adik kak Irfan dari pada kekasihnya David. Setiap hari ditraktir es krim,” kataku sambil terkekeh.
“Ih, maunya,”

THE END

Kamis, 18 Oktober 2012

LUKISAN RAKA

By. Hana Aina



Raka membuka gulungan kertas yang sedari tadi digenggamnya. Kertas karton seukuran buku gambar besar. Di sana, tadi malam ia melukis gambar kucing putih belang coklat dengan menggunakan cat minyak. Itu adalah tugas dari Pak Yono, guru menggambarnya, minggu lalu sebagai tugas liburan sekolah. Rencananya hari ini semua tugas akan dikumpulan.
Raka menggelar lukisannya di atas meja. Ia anak yang suka pamer. Ia ingin teman-temannya yang melihat lukisannya lalu terkagum dan memujinya. Dan itu benar. Satu per satu teman Raka mulai mengerumuni meja Raka karena ingin melihat lukisan kucingnya dari dekat.
“Wah, Raka hebat, ya. Bisa melukis sebagus itu,” Doni mendekat pada Raka. Teman-temannya lain yang mendengar ucapannya jadi penasaran.
“Pasti susah, ya, membuatnya?” Nando penasaran bagaimana Raka bisa membuat lukisan sebagus itu.
“Tidak juga. Gampang, kok,” jawab raka enteng, sambil melipat tangannya ke depan dada. Wajahnya sedikit mendongak ke atas, dadanya membusung bangga.
Karena banyak yang ingin melihat hingga berdesak-desakan. Giring yang melihat paling depan sampai tergencet. Ia didorong dari belakang hingga akhirnya jatuh tersungkur. Tanpa sengaja tangannya menarik kertas lukisan Raka hingga merobek tepinya. Raka yang melihat lukisan kebanggaannya sobek marah besar.
“Lukisanku…!!” Mata Raka terbelalak. Teman-teman lain yang melihat kejadian itu sedikit mundur ke belakang. Suasana hening.
“Maaf, Raka,” suara Giring bergetar. Ia ketakutan melihat wajah Raka yang merah padam lalu mengambil sobekan lukisan dan meletakkannya di meja Raka. “Aku nggak sengaja.”
“Nggak sengaja bagaimana? Aku jelas-jelas melihatmu menariknya,”
“Aku terjatuh,” Giring merasa bersalah. Bagaimana pun memang dia yang menyebabkan lukian raka sobek meski tak sengaja.
Mata Raka berkaca-kaca. Ia mulai menangisi lukisan yang belum sempat ia nilaikan. Melihat kejadian itu Desta, ketua kelas 6-A, melaporkannya pada Pak Yono. Pak Yono memanggil Raka dan Giring ke ruang guru.
Raka memperlihatkan lukisannya yang kini tak utuh lagi. Sedang Giring tertunduk. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan Pak Yono di ruang guru.
“Giring, apa benar kamu yang melakukannya?” tanya Pak Yono. Giring hanya mengangguk pelan.
“Tapi saya nggak sengaja. Saya terjatuh,” Giring memberi alasan.
“Inikan tugas liburan, Pak. Belum sempat saya nilaikan,” Mata Raka masih basah. Sesekali ia masih manangis.
Pak Yono mendengar dengan seksama pembelaan Giring dan Raka. “Ya sudah. Bapak kasih kamu kesempatan untuk membuatnya lagi,” Ia menarik nafas panjang lalu melanjutkan. “Sekarang, Giring minta maaf pada Raka,”

“Aku minta maaf, Raka,” Giring berpaling pada Raka yang duduk di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya, mengajak salaman.
“Tidak mau,” Raka menarik tangannya ke belakang punggung. Ia masih marah pada Giring.
Melihat sikap Raka, Pak Yono terkejut. “Lho, kenapa?”
“Saya… tidak bisa membuatnya lagi,” jawab Raka perlahan. Ia kembali menangis.
“Bukannya tadi kamu bilang gampang membuatnya,” Giring ingat apa yang dikatakan Raka pada teman-temannya di dalam kelas tadi
“Sebenarnya… Raka minta bantuan Papah Raka untuk membuatnya. Sekarang Papah sedang keluar kota,” Raka tertunduk.
“Jadi, itu bukan lukisan Raka sendiri?” tanya Pak Yono.
Raka menggeleng. “Raka ingin dapat nilai yang bagus. Tapi Raka nggak bisa melukis sebagus Papah,” Raka memberikan penjelasan.
“Maaf, Pak,” Raka menyesal.
Pak Yono terdiam, lalu berkata. “Kalau begitu, Bapak memaafkan Raka yang sudah mau bicara jujur, asalkan Raka juga harus mau memaafkan Giring,”
Raka mengangguk. Ia tersenyum lega. Pak Yono memaafkannya dan tidak menghukumnya karena telah berbohong dan curang.
Raka dan Giring bersalaman, kemudian berpelukan. Raka telah memaafkan Giring dan ia diberi kesempatan oleh Pak Yono untuk membuat tugas melukisnya lagi dengan catatan lukisannya sendiri bukan lukisan orang lain.
Meski tidak sebagus lukisan Papahnya, tapi Raka harus bangga dengan hasil karyanya sendiri. Tidak mengakui hasil karya orang lain sebagai hasil karyanya. Karena itu sama juga dengan bohong. Tidak hanya membohongi orang lain, tapi juga membohongi diri sendiri.
THE END

Senin, 15 Oktober 2012

JANJI TERAKHIR


By. Hana Aina

Tera memandang jam dinding yang ada di kamarnya. Hampir pukul dua belas. Beberapa detik lagi ia akan meninggalkan usianya enam belas tahun. Ya, malam ini adalah ulang tahun Tera. Namun yang ia dapatkan adalah kedukaan.
Siang kemarin sepulang sekolah ia menemukan tak ada satu pun anggota keluarganya yang selamat dari pembantaian. Ayahnya ditemukan di ruang kerja dengan tembakan di kepalanya. Ibunya terkapar bersimbah darah di ranjang.
Tera menutup matanya. Merasakan kesedihan luar biasa di setiap desir nadinya, mengalir bersama darahnya.
Tera, gadis periang yang duduk di kelas dua SMU itu harus menerima kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri. Hanya Johan, ajudan ayahnya yang sudah diberi kepercayaan untuk menjaganya semenjak kecil, kini di sampingnya. Johan bertemu dengan Tera saat gadis itu berusia sembilan tahun. Saat itu usia Johan tujuh belas tahun. Dia baru bekerja dengan Gara, ayah Tera, salah seorang pimpinan geng di Ibu Kota.
***
Johan Ardiansyah meletakkan tas sportnya di atas meja, lalu mengeluarkan sepucuk pistol dari dalamnya. Ia mengisinya penuh lalu menyelipkan di belakang punggungnya.
Johan bersama adiknya tumbuh di jalanan. Kerasnya hidup mengajarkannya untuk bertahan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Johan tumbuh menjadi remaja pemberani, bahkan cenderung nekad. Tak ada yang ditakutinya. Saat menyelamatkan Gara dari serangan musuhnya, ia berhasil menewaskan sebagian besar penyerang. Ia membuat Gara terkesan hingga mempekerjakannya sebagai salah satu ajudan. Karena usianya yang masih muda, Johan mendapatkan tugas untuk mengawal Tera, anak perempuan Gara.
Johan berjalan keluar kamarnya menuju lorong yang sengaja dibuat remang. Pintu kamar Tera terbuka sedikit. Dilihatnya gadis itu terduduk di ranjang. Kepalanya tertunduk. Poni rambutnya jatuh menutupi wajah. Tanganya tertangkup di pangkuan.
Johan membuka pintu perlahan. Suara isak Tera terdengar pilu. Ia masuk lalu menarik sebuah kursi mendekat pada Tera. Sekarang mereka berhadapan.

“Mengapa..” suara Tera bergetar, “semua ini terjadi padaku?”
Johan terdiam, mencoba mencari jawaban. “Mungkin sudah menjadi takdirmu untuk menjalani semua ini.”
“Tapi aku tak mau, aku tak mampu,” Ia mulai terisak. Tubuhnya berguncang.
Johan tertunduk, menarik nafas panjang, lalu mengangkat wajahnya.
“Apa kau tahu arti dari namamu?” Pandangan Johan lurus ke arah Tera. Tera menggeleng.
“Suatu hari ayahmu pernah bercerita padaku..” Johan mengambil jeda, lalu melanjutkan.
“Teratai. Nama yang diberikan padamu. Seperti nama bunga yang hidup di atas air yang tenang tapi kotor. Tapi teratai mempunyai bunga yang sangat indah dan bersih. Sangat bertolak belakang dengan lingkungannya,” kata Johan. Tera mengerutkan dahi, berusaha memahami.
“Ayahmu ingin kau tetap menjadi dirimu. Tidak terpengaruh oleh sekitarmu,” lanjutnya.
Tera mengangkat wajahnya, menatap Johan yang ada di depannya. “Maksudmu, aku harus melupakan semua ini?”
“Ya, dan menjalani hidup baru,” jawab Johan.
“Apa aku mampu?” Tera ragu.
“Tentu,” jawab Johan mantap. Ia mengangkat tangan kanannya lalu meletakkan pada dadanya. “Percayalah pada hatimu,”
Tera mengangguk.
“Aku berjanji selalu bersamamu, menjagamu. Seperti janjiku pada ayahmu,” janji Johan.
***
Tera beranjak dari duduknya, melangkah ke luar kamar lalu turun ke lantai satu. Baru beberapa anak tangga yang ia tapaki mendadak lampu padam. Sangat gelap hingga Tera harus meraba dan berpegangan pada sisi tangga.
“Hallo..” Tera berusaha mendeteksi keberadaan penghuni lain.
Tera terus berjalan. Meski tak bisa melihat apapun tapi ia ingat betul posisi dapur, tepat di sebelah kiri tangga. Tera meraba kusen pintu menuju dapur.
“Selamat ulang tahun, Tera” Suara dari belakang Tera, mengagetkannya.
Tera berbalik. Cahaya lilin berependar dari belakangnya. Johan dengan sebuah kue tart di tangannya. Banyak lilin kecil berdiri di atasnya.
Tera tersenyum. Sebuah kejutan di tengah malam. Ia berdiri tepat di hadapan kue ulang tahunnya, lalu memejamkan mata. Tangannya tetangkup di depan dada. Bibirnya mengucap sesuatu, lirih. Sesaat kemudian ia kembali membuka mata lalu meniup semua api yang menari di atas lilin. Ada tujuh belas lilin kecil di atas kue, menyimbulkan umurnya sekarang.
Lampu kembali menyala. Tampaklah semua yang ada di sana. Selain Johan ada juga Alan, adik Johan. Sekarang mereka duduk mengitari meja makan di sisi meja dapur. Letaknya berhadapan langsung dengan pintu belakang yang terbuat dari kaca, hingga mereka dapat menikmati taman belakang dan suasana langit malam.
Tera senang malam itu. Meski tak ada lagi keluarga bersamanya tapi ia tetap bersyukur memiliki orang-orang yang menyayanginya.
Dor..!
Sebuah tembakan memecah kaca pintu. Alan dengan cepat berguling ke samping. Ia mengeluarkan pistol dari balik punggungnya lalu menembak semua lampu di dapur agar gelap. Dengan begitu akan menyulitkan lawan untuk mengetahui posisi mereka.
Johan menarik lengan Tera dan membawanya menjauh dari pintu, bersembunyi di balik meja dapur. Tembakan dari luar rumah terus menderu. Membabi buta ke segala arah. Sesaat kemudian sunyi. Suara tembakan berhenti. Namun tak mengurangi kewaspadaan Johan dan Alan. Suara langkah kaki menaiki tangga terdengar, tak hanya satu, ada beberapa.
Johan mengeluarkan pistolnya dari balik punggung lalu memberikannya pada Tera. Tera terkejut.
“Simpan ini untukmu. Gunakan bila perlu,”
“Tapi..” Tera tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tatapan mata Johan seolah memberikan isyarat untuk tegar dan bertahan. Johan berjalan mengendap merapat pada Alan. Sedang Tera berusaha mengumpulkan segenap keberanian. Sekarang mereka bersiap atas semua yang akan terjadi.
***
Tera mengintip dari balik meja dapur. Johan sedang bergumul dengan seorang lelaki, sedang Alan menembak pada musuhnya yang berusaha masuk ke rumah. Namun keadaan tak berpihak pada mereka. Dua orang melawan belasan. Mereka terdesak.
“Lari!” Perintah Johan pada Tera.
Dengan cepat Tera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman depan, masuk ke dalamnya, lalu menguncinya rapat. Ia masukkan kontak dan berusaha membuatnya hidup, namun tak bisa. Hanya terdengar erangan mesin lalu mati.
Dari belakang, sebuah buah mobil sedan hitam menabraknya. Tera berguncang dan pistol yang diletakkan di kursi sampingnya terjatuh. Ia panik. Ia berusaha meraba untuk mendapatkan kembali pistolnya sebelum orang-orang di dalam mobil itu mendekat. Namun ia tak mampu menemukannya.
Tera berbalik arah dan menemukan kedua pria berpakaian hitam sudah di samping pintu mobil. Yang satu berperawakan gempal dan yang lainnya krempeng. Mereka memecahkan kaca mobil, membukanya paksa dan menarik tubuh Tera keluar. Tera memberontak dan berteriak minta tolong. Tak ingin aksinya diketahui si gempal membekap mulut Tera.
Tera menancapkan kukunya pada lengan kekar si gempal. Si gempal mengerang kesakitan tapi tetap tak mau melepaskan bekapannya. Si krempeng membantu dengan menarik tubuh Tera hingga keluar mobil.
Tera berusaha bertahan. Ia mengangkat tubuhnya yang ringan lalu melayangkan kakinya ke arah si krempeng. Si krempeng terjatuh ke belakang. Namun dengan sigap ia bangkit. Kali ini ia mengangkat kaki Tera. Mereka menggotongnya ke mobil.
***
“Larilah pada Tera! Aku tangani ini,” kata Alan.
Bugh!
Alan melayangkan pukulan pada perut lawannya hingga tersungkur. Tak ada lagi senjata, yang ada hanyalah pertarungan satu lawan satu. Beberapa lawan telah tumbang. Tinggal dua orang saja. Ia yakin bisa membereskannya.
Johan berlari ke halaman depan. Ia melihat dua lelaki memaksa Tera masuk ke dalam mobil. Dengan cepat ia berlari mendekat dan melayangkan pukulan yang mengenai wajah si gempal. Si krempeng yang melihat temannya diserang melakukan serangan balik.
Untuk kesekian kalinya Johan melayangkan tinjunya pada si gempal hingga terjatuh ke belakang. Kemudian ia sedikit membungkuk menghindari pukulan si krempeng. Kini siku kirinya yang beraksi, melayangkan serangan ke arah perut si krempeng. Si krempeng tersungkur.
Tera berhasil keluar dari mobil. Ia mendekat pada Johan. Johan melihat ke arah si gempal. Si gempal mengeluarkan pistol dari balik punggungnya dan mengarahkannya pada Tera.
Dor..!
Johan mendorong Tera ke belakang. Ia sendiri tersungkur di depan Tera. Darah segar mengalir dari tubuhnya yang tertelungkup. Tera panik. Di depannya, si krempeng siap menarik lengannya.
Dor..!
Tiba-tiba si krempeng terjatuh dengan luka tembak di kepala. Demikian pula si gempal yang terkapar di tanah. Tera melihat ke arah datangnya tembakan. Alan berdiri di sana. Sesaat kemudian berlari ke arah Tera.
Tera membalikkan tubuh Johan yang sudah tak berdaya dengan sebuah luka tembak di punggung, merebahkan kepalanya perlahan di pangkuannya.
“Maafkan aku, Tera … tak bisa menepati janjiku,” kata-kata Johan terbata.
“Apa maksudmu?” suara Tera bergetar.
“Ingatlah, Terataiku. Kau pasti bisa bertahan,” ujar Johan mantap.
“Kakak?” Suara Alan dari belakang, mendekat pada Tera dan Johan.
“Jaga terataiku,” Johan memohon pada Alan. Alan menjawabnya dengan anggukan.
“Aku menyayangimu, Tera,” Johan tersenyum.
“Kak Johan,” suara Tera lirih mengiringi air matanya yang menderas.
***
Takkan selamanya tanganku mendekapmu
takkan selamanya raga ini menjagamu
seperti alunan detak jantungku
tak bertahan melawan waktu
dan semua keindahan yang memudar
atau cinta yang telah hilang
(Tak Ada yang Abadi, by Peterpan)

Teratai Puteri Gara menatap nanar pada batu nisan di depannya. “Mungkin, seumur hidup aku akan memendam rasa ini tanpa bisa mengungkapkannya. Aku tahu betapa kau menyayangiku, tapi aku lebih dari itu,”
Tera mengambil nafas panjang. “Aku mencintaimu, kak Jo,”
Tera kini tinggal bersama kakek dan neneknya di pinggiran kota. Ia mencari ketenangan dari carut marut dan menata hidupnya yang porak poranda. Seperti remaja pada umumnya, ia melanjutkan sekolah di sebuah SMU dan bergaul bersama teman-teman sebayanya.
“Sebentar lagi akan hujan,” ujar Alan yang sekarang menjadi penjaganya. Namun sampai kapan pun Johanlah yang menjaga hatinya.
“Ya, kita pergi dari sini,”
THE END

Solo, 14/10/12

Minggu, 14 Oktober 2012

FF : BUKAN AKU ATAUPUN DIA

By. Hana Aina


Kedua pasang mata itu beradu, penuh arti.

"Kebahagiaanku adalah aku berada disisimu saat kau membutuhkanku. Mengusap air matamu saat kau tersedu. Mengangkat beban di pundakmu dan membaginya bersamaku. Hingga kutemukan kembali senyuman manis di bibirmu." Leo mengambil jeda. "Itulah kebahagiaan sejatiku."

Ashy menatap penuh cinta lelaki di depannya. Ingin ia tersenyum, tapi tak mampu. Bibirnya bergetar. Air matanya tumpah. Lalu ia pun tertunduk.

Sedang Leo, hatinya mencelos melihat wanita yang dicintainya tersedu di depannya. Ingin ia merengkuh Ashy, memeluknya, mendekapnya erat di dada.

"Maafkan aku. Aku tak bisa menikah denganmu." Ashy maju selangkah dan menjatuhkan diri di bahu Leo. Ia terus menahan tangisnya, namun tak bisa, saat tangan Leo menariknya lebih rapat, menyatukan sedunya dengan degup jantungnya.

Ashy tercekat. Seketika ia tak mampu bernafas.

"Tak ada yang perlu dimaafkan," kata Leo, mendekap Ashy lebih erat. "Kalau kau tidak menjadi milikku, maka orang lain pun tidak."

Tubuh Ashy berguncang. Sebuah pisau menancap di perutnya. Darah mengalir deras membasahi gaun pengantinnya. Leo menarik pisau itu dari perut Ashy sesaat sebelum tubuh wanita itu terjatuh ke lantai. Sesaat kemudian Leo menancapkan pisau itu ke tubuhnya, menyusul kekasihnya.

THE END

October 1 at 8:41pm

------------------------------------------------------------ 
NOTE : Diposting di group Facebook ISTANA PERI, dalam rangka ulang tahun KaGuRi Maria Ulfa

Sabtu, 13 Oktober 2012

SEPENGGAL KISAH DI RUMAH TUA


By. Hana Aina

“Semua ini bukan salahku!” seru Nada, terbelalak melihat pemandangan di depannya. Tera, ibu tirinya terbujur kaku, bersimbah darah dengan luka cabikan kuku selayaknya binatang buas. Ada juga Mara, kakak tirinya, yang juga diam tak bergerak dengan mata terpejam. Gigitan taring juga meninggalkan luka menganga di beberapa bagian tubuhnya.
“Aku sudah peringatkan kalian. Tapi kalian tak menggubrisku,” ujar Nada. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, lalu menjatuhkan diri dilantai perlahan. Ditariknya kakinya, lalu didekapnya erat.
***
“Ampun, Bu. Ampun!” Seru Nada. Ia terbaring di lantai gudang, di sebuah rumah tua yang telah dihuninya semenjak lahir. Tangannya berusaha menghalau sabetan rotan yang diarahkan Tera kepadanya. Ia merintih kesakitan. Namun Tera tak memperdulikan. Ia terus menghujani Nada, tanpa ampun.
“Kau sudah berani berbohong kepadaku, ya?” tanya Tera, berang. Ia menggenggam erat rotan ditangannya. Menatap sosok di depannya dengan penuh kebencian.
Suara Nada bergetar, menyiratkan ketakutan. “Aku tak pernah bohong kepada Ibu. Aku tak pernah mencurinya. Aku …”
“Bohong!” sahut Mara yang sejak tadi berdiri di belakang Tera. Lanjutnya, “Aku melihatnya sendiri, Bu. Dia masuk ke kamar Ibu dan mengambil kalung itu.”
Nada mendekap erat kalung berliontin batu delima merah. Kalung itu diberikan ayahnya pada detik-detik terakhir kepergiannya. Itu adalah kalung peninggalan ibunya yang harus ia jaga. Karena di dalam kalung itulah roh ibunya bersemayam. Ia akan selalu menjaga Nada dari semua hal yang mengancam nyawanya.
 “Ini kalungku. Peninggalan almarhum ibuku satu-satunya,” kata Nada, mengenang.
“Sekarang itu milikku. Ayo serahkan!” seru Tera, meminta kembali kalung itu.
“Tidak! Aku tidak mau!” Nada bergeming. Ia terus menggenggam erat kalung yang dikenakan di lehernya. Dan itu membuat Tera makin gelap mata.
“Kalau kau tak mau menyerahkannya, aku akan terus memukulmu,” ancam Tera. Sekali lagi ia mengayunkan rotan itu pada Nada.
“Hentikan! Ibuku akan marah pada kalian,” teriak Nada.
Mara tertawa terbahak. “Ibumu?! Ibumu sudah mati!”
Mendengar kata-kata Nada, Tera berhenti, lalu berkata, “apa kau kira Ibumu akan datang membantumu?! Jangan bermimpi!” Tera pun tertawa terbahak. Sesaat kemudian melanjutkan memukul Nada. Nada sudah tak tahan lagi. Ia pun berteriak dengan lantang, “Ibu … ibu …. Tolong aku, Bu.”
Liontin yang tergantung di kalung itu berpendar, mengeluarkan cahaya putih yang tiba-tiba terbang seperti siluet. Ia berpindah cepat dari sudut satu ke sudut yang lain.
Mara terbelalak melihat kejadian itu. Ia ketakutan hingga merapat ke ibunya. Tera pun masih bingung dengan sesuatu yang belum jelas itu. Ia terus mengikuti kemana cahaya itu bergerak. Hingga mereka berdua mendengar suara aungan keras, memekakkan telinga. Cahaya itu berhenti di langit-langit gudang lalu berputar membentuk pusaran. Putarannya semakin cepat hingga terbentuklah sesosok wanita bersayap dengan rambut panjang ikal menyala. Matanya penuh amarah. Ia mengerang, memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Tera dan Mara mundur, menjauh dari sosok mengerikan itu. “Si …siapa kau?”
Makhluk itu hanya terdiam. Menatap lurus pada dua manusia di depannya. “Kau telah melukai puteriku,”
“Pu … puterimu?”
“Ya!” jawabnya, tegas. “Dan sekarang aku akan membalas semuanya.”
Makhluk itu menegakkan tubuhnya, lalu menarik nafas panjang. Seketika ia menghembuskan nafasnya sekuat tenaga, membentuk pusaran angin besar. Mara yang ketakutan berlari menuju pintu gudang yang terbuka, berharap bisa melarikan diri. Namun terlambat, pintu itu tiba-tiba tertutup. Ia mencoba memutar handlenya, namun pintu tak bergerak, seolah terkunci.
Mara berbalik. Ia melihat Ibunya menunduk, lalu berjongkok, berusaha bertahan dari angin itu. Sedang makhluk mengerikan itu mulai mengepakkan sayapnya. Perlahan kakinya mulai meninggalkan lantai, terus naik tinggi dan mengerang. Suaranya memekik hingga Mara harus menutup kedua telinganya.
Sejurus kemudian makhluk itu mulai bergerak, secepat kilat menyambar tubuh ibunya hingga terpelanting ke samping. Lalu menerkamnya kuat, mencabiknya tanpa ampun. Mara merasa ngeri melihatnya hingga ia menjatuhkan diri ke lantai, mendekap tubuh dan memejamkan mata. Ia hanya mampu mendengar teriakan ibunya, kesakitan.
Sesaat kemudian suasana hening. Mara memberanikan diri untuk membuka mata, menjawab rasa penasarannya. Namun ia terkejut seketika. Ternyata makhluk itu ada di depannya, berdiri menatapnya dengan tajam. Mara berteriak sekeras-kerasnya. Namun tak ada yang mendengarnya. Gudang bawah tanah itu seolah memiliki dinding pemisah dengan dunia luar.
Makhluk itu meraih leher Mara, lalu menariknya ke atas. Mara berusaha keras untuk berdiri, kalau tidak ia akan tercekik.
“Kau sama saja dengan ibumu!”
“A …ampun,” kata-kata Mara terbata. Tubuhnya kini merapat ke dinding. Ia bisa merasakan tajamnya kuku makhluk itu mengenai kulitnya. Mara bergeming. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana melepaskan diri. Jalan nafasnya semakin semit.
Mara mengangkat kakinya lalu mengayunkannya ke perut makhluk itu. Tak menduga akan mendapat perlawanan, makhluk itupun tersungkur dan melepas cengkeramannya. Sekali lagi Mara menendang. Kali ini mengenai kepalanya hingga terjungkal ke belakang. Mara pun berlari menjauh ke sudut yang lain. Ia sadar tak bisa kemana-mana. Di lihatnya di sebelah kanan, tubuh Nada lemas. Entah dia sudah mati atau hanya pingsan. Namun saat melihat ke sisi kiri, tiba-tiba tubuh Mara berguncang. Ia melihat tubuh ibunya terlentang di lantai, bersimbah darah, penuh cabikan.
Nafas Mara masih tak teratur. Ia melihat jauh di depannya, makhluk itu telah bangkit dan berdiri menatapnya. Mara sedikit bergerak ke samping lalu berlari menghindar, namun kalah cepat. Makhluk itu menerkamnya dari belakang. Mara tersungkur, tertindih tubuh makkluk itu. Ia mencoba meminta ampun, namun makhluk itu tak menggubris. Makhluk itu mulai mengoyak tubuh Mara. Cakaran, gigitan dan cabikan, bertubi-tubi diterimanya hingga akhirnya ia menyerah, tak bergerak.
***
“Sudahlah, Sayang.” Sosok wanita berambut lurus panjang, berpakaian putih mengusap lembut kepala Nada. “Ayo, kita tinggalkan rumah ini!”
Makhluk itu telah menuntaskan dendamnya. Ia kini kembali ke wujud aslinya. Seorang wanita lembut yang akan selalu melindungi puterinya meski berbeda dunia.
THE END

---------------------------------------------------------------------------------
NOTE : Ini adalah satu cepenku di buku antologi Negeri Sejuta Fantasi. Diterbitkan oleh Writingrevo Publishing pada bulan September 2012.  

 

Selasa, 23 Agustus 2011

PENYESALAN CIKA

By Hana Aina

::

Cika merebahkan tubuhnya di atas sofa merah di ruang tengah. Ditariknya nafas panjang, sesaat kemudian dihembuskannya perlahan. Seragam sekolah merah putih masih melekat di tubuhnya. Mama Cika dengan berpakaian rapi muncul dari ruang makan.

“Cika, sudah pulang sayang. Makan dulu ya. Mama sudah siapkan di meja makan.” Kata Mama pada Cika sambil menenteng tas tangannya. Mama berjalan ke arah Cika lalu duduk di sampingnya.

“Sebentar Ma. Cika sedang ngadem ni.” Sahut Cika, malas. “Mama mau ke mana?”

“Mau belanja sebentar buat kebutuhan akhir bulan.” Mama membelai rambut Cika, anak si mata wayangnya.

“Ikut dong Ma.” Cika merayu Mama dengan manja. Ditarik-tariknya lengan baju Mama.

“Memangnya kamu nggak ada PR atau ulangan?” Mama menatap wajah Cika dengan lembut. Cika terdiam. Dia teringat PR matematika yang diberika bu Dewi seminggu yang lalu dan sampai saat ini belum ia kerjakan. Belum lagi ulangan bahasa Indonesia untuk besok. Tapi Cika sangat ingin ikut dengan Mama jalan-jalan.

Hmmm… Kan masih siang. Belajarnya kan bisa nanti sore. Kata Cika dalam hati.

“Hmm… Nggak kok Ma… Nggak ada” Suara Cika terbata.

“Tapi tadi katanya capek.” Mama coba mengingatkan Cika. Diusapnya rambut Cika dengan lembut.

“Itu kan tadi, sekarang sudah hilang kok.” Cika mencoba berkilah.

“Ya sudah cepetan ganti baju. Mama tunggu di luar ya.” Ucapan Mama membuat Cika bangkit dari kemalasannya. Ia sangat bersemangat sekarang.

Cika sangat senang hari itu. Jalan-jalan ke mall, belanja ini itu. Ia benar-benar telah melupakan tugas-tugasnya. Sepulang di rumah, Dini, teman bermain Cika, sudah menunggu di depan rumah.

“Cika, main yuk!” Ajak Dini pada Cika dari atas sepeda mini biru mudanya.

“Main?!” Cika merasa ragu sesaat. Ia teringat PR dan ulangan besok pagi. Hmmm… Tapi sekarang kan masih sore. Aku bisa belajar nanti malam.

“Ayo!” Cika mengingkari janjinya tadi siang, bahwa sepulang jalan-jalan ia akan selesaikan PR dan belajar untuk ulangan.

Sore itu Cika habiskan bermain bersama Dini hingga malam menjelang. Lampu meja belajar mulai dinyalakan. Buku pelajaran telah disiapkan. Cika menarik kursi lalu duduk manis di belakang meja. Tapi tiba-tiba Cika ingat sesuatu. Malam ini film kesukaannya akan diputar di televisi. Tidak akan aku lewatkan. Nonton film dulu, baru belajar. Lagi-lagi Cika mengingkari janjinya.

Cika menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Ditinggalnya buku pelajaran, dan digantinya dengan bantal-bantal yang ia susun nyaman di atas karpet yang terhampar di depan televisi.

Cika menikmati film kegemarannya dengan senang, ditemani es krim yang dibelinya tadi siang dan beberapa snack kesukaannya.

Film berakhir hampir tengah malam, sedangkan mata Cika sudah tak tahan lagi. Berlahan lahan di sekitarnya seakan meredup. Perlahan tapi pasti Cika mulai tumbang di depan televisi, diantara tumpukan bantal yang menyangga kepalanya. Lelap pun mulai menyelimuti. Cika tenggelam dalam mimpi.

Kriiiinnngggg…

Weker di meja belajar Cika memecah keheningan kamar. Cika tersetak kaget. Sesekali dia menguap sambil tangannya mengucek-ucek mata. Dicarinya jam dinding.

“Ha?! Jam enam?!” Cika bangkit dari posisi duduknya. Langkahnya bergegas ke kamar mandi.

“Tak ada waktu lagi.” Suaranya panik. Hanya dalam setengah jam dia harus siap dengan baju seragamnya. Dilangkahkannya kaki dengan sepatu bertali yang belum rapi benar. Langkahnya terseok karna harus pula berkonsentrasi dengan buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Rupanya Cika lupa belum menjadwal pelajaran hari ini.

Setibanya di meja makan, Papa sedang asyik membaca koran, sedangkan Mama menikmati sarapannya.

“Ayo Pa, kita berangkat!” Cika meminum susunya dengan terburu-buru.

“Ayo Pa...!” Cika merengek sambil menarik-narik kemeja Papanya.

Di dalam mobil pun Cika tidak mau diam. “Pa, cepet sedikit dong mobilnya.”

“Kenapa terburu-buru. Bukankah biasanya juga berangkat jam segini?” Tanya Papa yang merasa aneh dengan tingkah Cika. Cika hanya terdiam. Dia teringat akan PR yang belum diselesaikannya. Cika berharap masih ada waktu, jadi ia bisa menyelesaikannya di sekolah. Beberapa kali Cika melihat ke jam tangannya. Sudah hampir jam tujuh. Aduh, nggak keburu ni. Kata Cika dalam hati.

Sesampainya di sekolah Cika bergegas ke kelas. Dan benar Ibu Dewi, walikelas sekaligus guru matematika Cika sudah di depan pintu. Aduh, PRku…?! Jantung Cika berdegub kencang. Dia memasuki kelas dengan rasa takut di dada.

“Sekarang keluarkan PR kalian.” Cika kebingungan. Ia belum mengerjakan satu pun PR yang diberikan, hingga akhirnya bu Dewi memberinya hukuman. Cika harus menyelesaikan PRnya di ruang guru, dan mengulangnya hingga sepuluh kali.

Lelah sudah tangan Cika. Dia kembali ke kelas ketika jam pelajaran berikutnya. Barulah ia ingat kalau ada ulangan bahasa Indonesia. Tapi tak ada waktu lagi. Bu Ratna, guru bahasa Indonesia, sudah masuk kelas. Beliau memerintahkan semua murid untuk menutup buku dan menyiapkan selembar kertas karena ulangan akan segera dimulai. Cika mengeluarkan kertas kosong perlahan. Ada takut dalam hatinya. Tentu saja, dia kan belum belajar. Semenjak soal di bacakan hingga jam ulangan hampir usai, tak satu pun jawaban tertulis di kertas Cika.

Cika menyesal, sangat menyesal. Andai saja kemarin Cika tidak berbohong pada Mama kalau ada PR dan ulangan hari ini, pastilah Mama akan menyuruh Cika belajar. Andai Cika tidak menunda mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, pastinya Cika tidak dihukum dan bisa mengerjakan ulangan dengan baik, tidak seperti sekarang ini.

Mama, maafkan Cika. Suara Cika dalam hati, penuh penyesalan. Matanya memerah, air mata tak mampu di bendungnya. Cika menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulangi.

::

Solo, 7 Juni 2011