Jumat, 22 November 2013

Show, Don’t Tell

By. Jia Effendie

Hai teman-teman,
Sesering apa sih, kamu mendengar orang-orang (penulis) mengatakan: “Show, don’t tell”, ketika sedang memberi tip menulis? Saya sih, sering. Hampir di setiap buku tentang cara-cara menulis, siapa pun yang menulisnya, selalu ada bagian itu. Barangkali si penulis buku itu tidak menyebutnya sebagai Show don’t tell, tetapi intinya sama: jangan cuma ceritakan, tapi tunjukkan. Buatlah para pembacamu membayangkan dengan jelas apa yang sedang kamu ceritakan, alih-alih cuma bercerita dengan cara seperti ini.
“Hari ini saya bangun, lalu ke kamar mandi, setelah itu mandi dan gosok gigi. Setelah berganti baju, saya pergi ke kantor.”
Bayangkan membaca novel sepanjang 300 halaman dengan cara bercerita seperti itu! Saya sih, ogah! Baru paragraf pertama aja udah pengin lempar. Atau, kalau kata pacar saya pas lagi sadis, lempar ke api unggun!
Tapi-tapi-tapi, gimana sih caranya menulis dengan cara mempertunjukkan dan bukan menceritakan, itu?
  • Deskripsikan.
Lukisan adegan secara mendetail. Di mana adegan itu terjadi, kemudian siapa saja yang terlibat dalam adegan tersebut. Seperti apa karakter-karakternya.
  • Gunakan kelima pancaindra (dan indra keenam?).
Sewaktu mendeskripsikan adegan yang kamu tulis, masukkan pula indra. Misalkan, apa yang dilihat karakter dalam adegan tersebut. Apakah dia menyentuh sesuatu? Bagaimana teksturnya? Apakah ada aroma tertentu? Seperti apa baunya? Atau dia mendengar sesuatu? Seseorang berbicara? Emosi apa yang dikandung oleh suara tersebut?
Tetapi, bukan berarti kesemua indra itu harus dimasukkan di dalam teks, ya… masukkan saja yang paling kuat.
  • Tulislah dengan spesifik, jangan samar-samar.
  • Tambahkan dialog di antara narasi. Tapiii, ini pun harus hati-hati. Jangan sampai kamu terus-terusan nulis dialog tapi kelupaan sama narasinya. Buatlah porsi narasi dan dialog seimbang, biar pembaca enggak bosan.
Coba bandingkan dua teks ini, mana yang menurutmu mengikuti prinsip show not tell?
Beberapa hari kemudian.
“Rangga, ayo berangkat. Nanti kamu terlambat,” seru Bu Ninis pada Rangga yang masih berada di kamar mandi. Namun, tak ada jawaban.
“Rangga, kamu lagi apa? Kok lama banget mandinya?” serunya lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi, Bu Ninis semakin heran.
Lagi-lagi Rangga tak menjawab.
“Rangga?”
“Kenapa, Mi?” tanya Pak Edwin yang tiba-tiba muncul.
“Ini, Pi. Rangga kok mandinya lama banget.”
“Rangga, ayo cepat, Nak. Nanti kamu terlambat,” Pak Edwin pun turut memanggil-manggil Rangga sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Sementara di dalam kamar mandi, Rangga terlihat tengah meringkuk. Memegangi dadanya. Rangga makin tak mengerti dengan keadaannya ini, terlebih ada sedikit bercak darah setiap kali ia terbatuk.
“Rangga?”
Saat mendengar lagi panggilan mami-papinya, ia memaksakan untuk membuka mata dan menegakkan tubuhnya, tapi sebelum itu, ia membersihkan bercak-bercak darah di lantai kamar mandi. Setelah memastikan tidak ada bekas, ia perlahan-lahan bergerak ke arah pintu lalu membukanya.
“Rangga, kamu kenapa? Kok pucat banget? Kamu sakit?” seru Bu Ninis kaget.
“Iya, Nak. Kamu kenapa?”
“Aku cuma kurang enak badan, kok.” seketika itu Rangga kembali terbatuk-batuk.
Lantas Bu Ninis meraih tubuh Rangga, menuntunnya ke ruang tengah. Diikuti Pak Edwin di belakang mereka. “Kamu duduk dulu,” Bu Ninis menyandarkan tubuh Rangga di sofa di ruang keluarga. “Kita bawa Rangga ke dokter saja, ya, Pi?” tanyanya kemudian.
“Biar Papi panggilkan Dokter Romi saja, Mi. Supaya Rangga bisa cepat diperiksa. Mungkin sekarang Dokter Romi belum berangkat, jadi bisa sekalian kita minta tolong dia memeriksakan keadaan Rangga.”
“Bukankah Dokter Romi spesialis penyakit dalam, Pi?”
“Kalau untuk sekadar penyakit umum, Papi yakin dia sudah mengerti betul.”
Bu Ninis diam sejenak sambil memandangi Rangga yang tengah bersandar lemas di sofa, lalu menoleh ke arah suaminya dan mengangguk.
*
Di dalam kamar, Dokter Romi tengah memeriksakan kondisi Rangga yang terbaring di tempat tidur sambil menempelkan stetoskop di dadanya. Sementara Pak Edwin dan Bu Ninis hanya memandangi dari belakang.
Rangga lantas mengerutkan dahi, melihat mimik muka Dokter Romi yang tiba-tiba berubah.
“Bagaimana, Dok?” tanya Pak Edwin pada Dokter Romi yang baru saja selesai memeriksakan kondisi Rangga.
“Sekarang Rangga sudah membaik, dia tidak apa-apa,” jawabnya singkat dengan tatapan yang menyembunyikan sesuatu. “Boleh kita berbicara di luar sebentar?”
Pak Edwin merasa heran. “Iya, Dok,” jawabnya sambil mengangguk.
“Memangnya ada apa sih, Mi? Kok Dokter Romi mukanya serius begitu?” Rangga pun tak kalah heran.
Maminya menggelengkan kepala sambil memasang raut wajah yang sama.
Tak berapa lama setelah itu, Papinya kembali masuk ke kamar lalu menghampiri istrinya dan Rangga, sedangkan Dokter Romi tampaknya sudah pulang.
“Ada apa, Pi?” tanya Bu Ninis.
Pak Edwin tak segera menjawab, ia tertunduk, seperti mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu.
“Pi?”
“Mi, kita harus membawa Rangga ke rumah sakit.”
“Lho?”
“Untuk memeriksa keadaan Rangga lebih jauh. Itu saran dari Dokter Romi.”
“Kapan, Pi?”
“Siang ini. Dokter Romi sudah mengatur jadwalnya. Papi ingin minta izin lebih dulu ke kantor.”
Bu Ninis pun mengangguk ragu. Ia bisa membaca dari sorot mata suaminya itu, seperti telah terjadi sesuatu. Ia lantas mengikuti suaminya yang segera keluar kamar, hanya Rangga yang masih tak mengerti apa yang terjadi.
*
“Bagaimana, Dok?” tanya Pak Edwin pada Dokter Romi setelah menjalani serangkaian pemeriksaan.
Dokter Romi sejenak tak menjawab. Hal ini membuat Rangga dan Maminya semakin bertanya-tanya.
“Setelah saya memeriksakan keadaan Rangga tadi pagi, saya merasa ada sedikit ada yang ganjil di dada Rangga, tapi saya belum bisa memastikan apa itu. Setelah pemeriksaan barusan, saya yakin…” Dokter Romi sejenak menghela nafas, “Rangga mengalami PJB.”
“PJB? Maksudnya penyakit jantung bawaan?”
“Iya. Itu tak lepas dari gejala-gejala yang Rangga alami, dan ada suara-suara bising di jantungnya. Pemeriksaan barusan semakin menguatkan dugaan saya.”
Astaghfirullah, Pi!” Bu Ninis kaget mendengar penjelasan Dokter Romi. Lantas ia menatap wajah Pak Edwin, seperti meyakinkan bahwa apa yang didengarnya ini tidaklah nyata. Sementara itu, Rangga masih terdiam, ia merasa seperti ada godam yang menghantam kepalanya.
“Apa itu tidak salah, Dok? Apa Dokter sudah benar-benar memastikannya?” tanya Pak Edwin lagi.
“Awalnya saya masih ragu, tapi setelah melihat hasil pemeriksaan, saya bisa memastikan kalau Rangga mengidap PJB.”
Seketika Pak Edwin dan Bu Ninis sama-sama memandangi wajah anaknya itu.
“Karena itu, saya menyarankan Rangga untuk bisa segera operasi. Kalau kalian setuju dan Rangga pun begitu, saya akan mengatur jadwalnya.”
Mereka masih terkejut dengan apa yang baru saja Dokter Romi jelaskan. Begitu pun Rangga, ia masih terdiam sambil memasang tatapan kosong. Mendengar kata operasi, membuatnya dilimpahi beragam asumsi dalam benaknya. Benarkah ia menderita penyakit jantung? Rangga seperti mendapat mimpi buruk dan terjebak di dalamnya.
Ekspresi wajah Bu Ninis dan Pak Edwin berangsur-angsur berubah. Mata mereka mulai berkaca-kaca. Benarkah anak mereka satu-satunya ini mengalami keadaan demikian? Apakah tidak salah? Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Operasi? Apa Rangga bisa kembali normal? Bermacam-macam tanya mulai menghantui mereka.
“Bagaimana?” Dokter Romi bertanya kembali untuk meyakinkan Pak Edwin dan Bus Ninis agar segera menangani Rangga melalui operasi. Jalan satu-satunya yang bisa ditempuh.
Pak Edwin mengangguk. Sementara Bu Ninis langsung memeluk Rangga, mencoba menenangkan hati Rangga. Ia tahu, Rangga sama terpukulnya dengannya, bahkan lebih terpukul lagi.
Bandingkan dengan yang ini:
“Rangga, ayo berangkat. Nanti kamu terlambat.” Bu Ninis, ibu Rangga, berseru dari luar kamar mandi. Namun, yang dipanggil tidak memberikan jawaban.
Rangga sedang meringkuk di lantai kamar mandi ketika mendengar panggilan ibunya. Telapak tangan kirinya menekan dadanya keras-keras, sementara tangan kanan menutupi mulutnya, meredam suara batuk. Dia mendengar ibunya kembali memanggil namanya, tetapi dia tak punya suara untuk menyahut, sibuk meredakan nyeri yang menyerang dadanya.
“Rangga!” ketukan di pintu semakin menuntut. Pemuda itu kembali terbatuk, kali ini bercak darah tertinggal di telapak tangannya. Dia mencoba untuk bangun, menyangga tubuhnya pada wastafel lalu menatap wajah pucatnya di cermin ketika berhasil berdiri. Rangga menyalakan keran dan mencuci darah di tangan dan mulutnya, lalu menjawab panggilan ibunya dengan suara serak dan terdengar mirip erangan.
“Kamu enggak apa-apa?” suara Bu Ninis mulai terdengar khawatir.
“Rangga enggak apa-apa, Mi,” katanya sambil membuka pintu kamar mandi. Dia memaksa tubuhnya berjalan dengan tegak dan memasang senyum terpaksa di wajahnya. Namun, baru dia melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya rubuh.
Sayup, Rangga mendengar Mami memanggil Papi dengan kepanikan yang tidak bisa ditutupi lagi, lalu suara parau Papi menelepon dokter.  Setelah itu, dia terbangun di tempat yang tidak dikenalinya.
Ruangan itu serbaputih. Dia berada di atas ranjang dorong kecil dikelilingi tirai-tirai sama putihnya. Dadanya masih terasa nyeri, seperti ada yang memukulinya berkali-kali dengan palu godam. Dia menarik napas, tetapi jantungnya seperti ditahan kuat-kuat dengan karet. Ketika dia mengembuskan napas, rasanya seperti ditembak katapel. Pandangannya buram. Lampu neon di tengah-tengah ruangan yang disekat-sekat tirai itu membuat matanya perih. Bau alkohol dan antiseptik menyengat hidungnya.
Tirai putih itu tersibak, memunculkan laki-laki berjas putih yang menyapanya dengan senyum hangat. Tangannya memegang papan penjepit kertas berisi berkas-berkas. Dua perawat dan kedua orangtuanya mengikuti di belakangnya.
“Kita pindah ke kamar perawatan, ya,” ujarnya sambil memberi isyarat kepada kedua perawat yang langsung menyetel ranjang dorongnya.
Rangga merasa pusing dan kembali memejamkan mata, merasakan ranjang berderak-derak memindahkannya entah ke mana.
Pemandangan yang dilihat Rangga kembali berubah saat dia membuka matanya lagi. Warna cat ruangan itu hijau pupus. Sofa untuk satu orang dengan warna senada diletakkan di pojok ruangan, bersebelahan dengan meja kecil yang penuh dengan kantong plastik dari sebuah minimarket. Maminya duduk tertidur di sofa itu, tampak lelah dan cemas.
“Mi,” ujarnya dengan suara lemah. Ibunya bergeming. “Mi,” ulangnya. Kali ini lebih keras, tetapi itu membuat tenggorokannya perih dan terbatuk. Mami langsung siaga ketika mendengar batuk-batuk anaknya. Dia mengucek mata dan buru-buru mendekati ranjang Rangga.
“Iya, Nak?”
“Rangga kenapa, Mi?”

Rangga tidak sanggup meneruskan lamunannya. Empat tahun berlalu sejak kejadian itu. Dia mengidap penyakit jantung bawaan. Lazimnya, penyakit ini diketahui sejak masih kanak-kanak atau bahkan sejak dalam kandungan, tapi pada dirinya, baru terdeteksi setelah dia beranjak remaja. Sebenarnya, gejala-gejalanya sudah mulai terlihat, tetapi masih bisa tertanggulangi, sehingga kedua orangtuanya tidak terpikir untuk memeriksakannya kepada dokter spesialis.
Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan masa lalunya itu. Semakin ia mengingat-ingat, semakin hatinya teriris. Sudah banyak hal yang dikorbankannya karena penyakit ini, termasuk dia. Seorang gadis yang menjadi alasannya kembali ke negara ini. Gadis yang memenuhi ruang dalam hati dan benaknya. Dia kembali menatap foto dalam genggamannya. Foto terakhir gadis itu sebelum Rangga pergi.
Vi, kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku tiba-tiba pergi? Supaya suatu saat, aku bisa bertemu kamu lagi. Dan sekarang menjadi kenyataan. Aku akan menemuimu, Vi.
Rangga menghela napas, lalu bangkit dari kursi yang didudukinya. Senyumnya mengembang, tangannya terangkat dan melambai.
Jemputannya sudah datang.
Sudah cukup terbayang?
Yuk menulis :)  

------------------------------------------
SUMBER :  http://jiaeffendie.wordpress.com/2013/09/16/writing-show-dont-tell/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berbagi komentar