Jumat, 28 Desember 2012

Tema Klise Seperti Apa Sih?

By. Ari Kinoysan Wulandari




Klise itu kalau temanya sudah umum, biasa, dan cenderung basi.

Contoh klise, kalau ceritamu membahas:
1. Cowok/cewek urakan jadi alim
2. Bintang basket pacaran sama primadona sekolah
3. Sahabat jadi pacar
4. Mantan yang mengacau
5. Orang mau mati menemukan pencerahan
6. Putus cinta dan musuhan
7. Orang kaya jatuh cinta sama orang miskin (sinetron banget)
8. Gadis miskin cantik baik hati bertemu lelaki sempurna, menikah, bahagia
9. Perjodohan
10. Serba sempurna; cantik, pinter, kaya, salih, tabah, ngerti trend, nggak ada cela; dikelilingi orang-orang sempurna pula (ini chicklit banget)

Apa tidak boleh menggunakan tema klise? Boleh banget... Asal, kemasan cerita beda, penulisan kamu keren, info kamu penting.... dari keseluruhan cerita jadi oke, menarik, dan menyenangkan.

Cerita klise yang oke misalnya seri Twilight; Throught the Glass, Darkly; Alice in the Wonderland; Cinderella; Boy Meet Girl; dll yang bisa kamu tambahkan sendiri dengan mudah.

Menulis memang tidak harus yang ribet. Yang simpel saja, yang dekat, yang dikenali, yang dikuasai; tapi pastikan menulisnya dengan cara yang bagus dan menyenangkan.

Happy Writing, Be a Good Writer :)

Kamis, 27 Desember 2012

Inilah 8 Kesalahan Penulis Fiksi Pemula

Kamis, 12 April 2012, 14:07 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Penulis beberapa novel fiksi populer, Clara Ng, menyebutkan beberapa kelemahan para penulis fiksi pemula. Kesalahan ini merujuk pada formula penulisan yang kurang tetap, sehingga cerita menjadi kurang berkesan. “Ibarat kue, kesalahan naskah fiksi ini membuat naskah menjadi fiksi yang rusak. Seperti kue yang gagal mengembang,” ujarnya melalui akun twitter clara_ng.

Beberapa kesalahan itu adalah :

Penuturan konflik:

Konflik adalah perlawanan atas segala seuatu yang diperjuangkan karakter. Konflik adalah arus balik kesalah. Sandaran fiksi adalah konflik, bukan pada konsep cerita. Konsep cerita sebagus apapaun akan hancur tanpa kehadiran konflik.

Konflik adalah nyawa. Seperti tangga, konflik harus digambarkan bertahap, dari kecil hingga membesar. Konflik juga seperti bayi, harus bertumbuh. Konflik yang stagnan hanya akan membuat fiksi menjadi mati.

Pembukaan yang lemah:

Pembukaan yang lemah artinya pembukaan yang tidak memperlihatkan konflik. Konflik seharusnya sudah membayang muncul di pembukaan cerita atau prolog. Pembukaan yang salah adalah pembukaan yang mengabaikan atau menahan konflik.

Penyelesaian konflik yang lemah:

Konflik yang sudah menghantui naskah sejak awal, harus ditutup dengan penyelesaian yang kuat. Penyelesaian yang lemah artinya konflik yang dibangun hanya selapis tipis. Lemahnya penyelesaian bisa disebabkan antara lain karena si karakter keluar dari masalah dengan bantuan.

Karakter tidak berjuang:

Ada tokoh atau situasi lain yang serta merta menyelamatkan dia dari konflik. “Tokoh harus berjuang menyelesaikan masalahnya. Boleh mendapat bantuan tidak langsung, tapi penyelesaian harus tetap dilakukan di tokoh utama. Hindari aksi serobot,” kata Clara.

Dialog yang bertele-tele:

Dialog yang ‘garing’ tanpa tujuan yang jelas hanya akan membuat fiksi diam di tempat. Pada naskah humor pun, dialog harus mengacu pada rumus yang berlaku. Ada tengah, ada konflik, ada kick-ass-nya. Tnapa itu, gumor akan mati dalam dialog.

Kalimat-kalimat yang tidak patuh pada aturan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia itu susah. Kita semua harus belajar bahasa Indonesia dimulai dengan yang sederhana, yaitu Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK).

Tanda baca yang tidak pada tempatnya:

Ini akibat penerapan bahasan Indonesia yang tidak maksimal. Kesewenang-wenangan tanda baca seperti seorang yang menyetir mobil dengan ugal-ugalan. Tnada baca sama dengan rambu lalu lintas. Tidak taat rambu hanya akan menghasilkan banyak kecelakaan.

Setting yang terlupakan:

Setting yang terlupakan, berarti isi cerita hanya didominasi dengan dialog.

Clara juga menyarakan para penulis baru untuk menghindari membuat buku yang masuk kategori junk-book. Termasuk dari jenis ini adalah buku-buku yang gagal membuka wawasan pembacanya, hanya mengejar kuantitas tanpa menaruh perhatian pada kualitas. “Jangan sampai industri penerbitasn di Indonesia dipenuhi buku tanpa kualitas. Buku adalah gerbang utama masa depan." @


 

Maklumat dari Koran MEDIA INDONESIA.

Memasuki tahun 2013 Media Indonesia akan kembali mempersembahkan Rubrik Cerpen yang akan terbit tiap hari Minggu.

Syarat naskah:
1. Cerpen karya asli (bukan plagiat), bukan saduran atau terjemahan.
2. Naskah belum pernah dipublikasi dan tidak sedang dikirim ke media lain.
3. Panjang tulisan maksimal 9.000 karakter termasuk spasi atau 4 halam kuarto.
4. Tenggat konfirmasi dari redaksi 2 bulan.
5. Dua bulan tanpa konfirmasi, naskah dianggap tdk sesuai.
6. Kirim via email dengan lampiran disertai kata pengantar pada badan email.
7. Naskah disertai biodata singkat, alamat lengkap dan nomor rekening.
8. Pada subjek email cantumkan: CERPEN MI: JUDUL CERPEN.
9. Naskah dikirim ke cerpenmi@mediaindonesia.com

NB: Honor tak kalah dengan Kompas, mungkin antara 750 ribu s/d 1 juta

Selasa, 25 Desember 2012

PING YANG GAK PINK

By. Hana Aina
--------------------------------------------------------------------



Add caption
     Sepulang sekolah Jhenny ngajak Joni ketemuan di kantin belakang sekolah. Saat itu sudah sepi.
     “Beib, jangan makan emping terus, yang lain, dong,” kata Jhenny sambil manyun. Jono yang sedari tadi asyik ngunyah emping terdiam. Remahan emping masih tertahan di mulutnya. Jhenny memperhatikan beberapa makanan ringan yang terhidang di hadapannya. Sepiring donat bolong, singkong keju, tempe penyet dan pisang madu, sudah semua dicicipin Jhenny. Sedang Jono hanya setia pada empingnya. Jangankan mencoba yang lain, melirik pun tidak.
     Jono terdiam menelan lambat emping yang tertahan di tenggorokannya, sesaat kemudian melanjutkan ngemilnya. Jhenny yang sedari tadi bersamanya ngerasa dicuekin  mengeluarkan si Cuping dari boxnya. Ya,
Cuping si kucing kesayangannya. Dia juga membawanya ke sekolah. Hanya saja tak dibawa masuk kelas, tapi dititipkan pada bu Darni, penjaga kantin sekolah.
     Jhenny membelai lembut bulu
Cuping yang putih bersih. Di rapikannya pita warna pink yang menghiasi bulu kepalanya yang sengaja di kuncir sedikit. Cuping yang merasa mendapatkan perhatian lebih mengibas-ibaskan ekornya tanda suka.
     Jono melirik pada Jhenny, “kenapa si
Cuping terus yang belai. Sekali-kali aku. Dicium gitu juga mau,” kata Jono, manyun.
     “Ih, maunya,” jawab Jhenny singkat. Jhenny menggendong
Cuping dalam pelukannya, Sesekali diciumnya kucing Persia berbulu lebat yang sudah hampir satu tahun ini setia menemaninya.
     “Beib, udah dong. Jangan
Cuping terus yang diurusin. Empet tahu lihatnya,” pinta Jono sambil terus ngemil.
     “Kamu juga, Beib. Udahan ngemil empingnya. Nggak tahan tahu sama aromanya,” balas Jhenny sambil sekali-kali ngelirik ke Jono.
    “Tapi ini kan enak,” ujar Jono sambil memperlihatkan sebuah emping ditangannya yang tak lama kemudian masuk ke mulutnya.
     “Sama. Ini juga asyik, “ Jhenny nggak mau kalah.
     Mereka terdiam dan saling beradu pandang. Sesaat kemudian mereka kembali dengan keasyikannya masing-masing. Jono dengan empingnya sedang Jhenny dengan kucingnya.

***

      Saat jam istirahat Jhenny merapat ke Jono yang sedang menikmati soto ayam di kantin. Jhenny langsung duduk di sampiung Jono. Jono yang kaget tak kuasa menelan nasi soto yang ada di mulutnya. Alhasil, dirinya terdesak lalu terbatuk.
     “Eh, Beib, maaf,“ Jhenny yang sadar akan tingkahnya telah membuat Jono tersedak hingga wajahnya merah padam mengambil teh hangat di dekat mangkok, lalu memberikannya pada Jono. Jono dengan cepat menerimanya lalu menyeruputnya perlahan hingga sisa-sisa nasi yang menyangkut di kerongkongannya tersapu semua masuk ke dalam perut.
     “Ada apa sih, Beib, kok segitunya?” tanya Jono sambil sesekali terbatuk.
    Jhenny cemberut. "Kita gak bisa nge-ping lagi" katanya. Jono terkejut mendengar kata-kata Jhenny. Ia menelan ludah perlahan.
     "Maksudmu, cinta kita gak lagi merah jambu?" tanya Jono. Matanya berkaca, suaranya bergetar.
     “Bukan itu,” katanya sambil mengusap air mata yang jatuh di sudut matanya. Ia terisak.
     “Si
Cuping mati,” katanya singkat, ”ketabrak mobil pagi tadi,”
     “Oh, aku kira apa,” Suasana hati Jono kembali normal setelah mendengar penjelasan singkat dari Jhenny. Paling tidak bukan cinta Jhenny padanya yang mati. Tapi si
Cuping , kucing Jhenny yang selama ini jadi uring-uringan antara Jhenny dengannya.
     “Kok kamu gitu sih? Nggak sedih ya?” Jhenny melihat ke arah Jono, sedikit heran.
     “Eh, bukan gitu, Beib,” Jono berusaha pasang wajah sedih. “Tapi apa hubungannya kematian
Cuping dengan kita?”
     “Tentu saja ada. Setiap kita kencan, kamu selalu bawa emping, aku selalu bawa si
Cuping. Nah, kalau sekarang Cuping nggak ada lagi, aku nggak ada teman dong buat nge-ping lawan kamu,” kata Jhenny, sedikit mewek.
     “Oh,” ekspresi Jono sedikit bingung.
     “Mulai sekarang, aku nggak mau lagi dengar kata ping, termasuk emping kamu itu,” kata Jhenny sambil menahan tangis.
     “Besok valentine pun aku nggak mau ada warna pink,” tambahnya.
     “Lho, kok?” Jono tambah bingung.
     “Mau ping atau pink, aku nggak peduli,” ujar Jhenny sambil mengambil secarik tisu dari kantong seragam atas. Disekanya air mata yang sedari tadi membasahi matanya.
     “Tapi kan beda, Beib,” Jono coba menjelaskan.
    “Tapi kan kalau didengar sama bunyinya,” Jhenny tetap kekeh. Diulangnya dua kata yang homofon itu, “Ping. Pink,”
     “Tapi, Beib, kalau valentine kan identik sama warna itu,” Jono nggak mau kalah.
     “Nggak mau. Ganti warna lain. Merah kek, ungu kek. Pokoknya bukan pink,”
    “Eh, iya deh,” Jono tersenyum kecut. Nasi soto yang masih hangat dengan sambal kecap dan taburan bawang goreng serta percikan jeruk nipis tak membangkitkan seleranya lagi. Dia teringat hadiah yang sudah disiapkannya untuk Jhenny. Rencananya akan diberikan waktu valentine yang akan datang beberapa hari lagi.

***

     Jono mengendarai sepeda motornya perlahan. Baru saja ia mengantar Jhenny pulang ke rumah setelah seharian mereka jalan-jalan.
    Valentine sudah berlalu. Pink tak ada lagi. Ia telah mengubah hadiah bantal jantung hati yang semula berwarna pink menjadi ungu, sesuai dengan permintaan Jhenny. Meski dia harus rela tangannya belepotan karna merendam bantal itu sehari semalam dalam pewarna tekstil. Tapi dia rela. Asal Jhenny bahagia.
    “Demi Jhenny apapun akan aku lakukan, kecuali yang satu ini,” Jono berhenti di sebuah taman di tengah kota. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari kantong jaketnya. Angin berhembus sepoi.
    “Sorry Beib, aku memang cinta kamu. Tapi aku lebih cinta empingku,” kata Jono sambi tertawa geli. Ia ingat janjinya pada Jhenny yang gak akan makan emping lagi. Tapi itu kalau bersama Jhenny. Tapi kalau dia sedang sendiri, siapa lagi teman setianya kalau bukan emping.


THE END

Sabtu, 22 Desember 2012

MAAFMU

By. Hana Aina
-----------------------------------
“Terima kasih. Kau telah mempermudah jalanku,” suara David disusul tawa yang membahana.
Aku merasa bodoh sekarang. Pesona David telah memperdayaiku. Seharusnya aku tidak menghiraukan ajakan David untuk bersekongkol menjatuhkan kakakku, mengalahkannya dalam pencalonan ketua OSIS. Sikap licik David telah berhasil membuatnya kalah telak dengan suara hanya 181. Itu sangat jauh dibanding suara yang didapat David, 419 suara.
“Maafkan aku,” pintaku pada Kak Irfan yang duduk di depanku. Ia hanya tediam, menahan marah. “Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan kakak,”
“Aku hanya kesal pada kakak karena tidak memasukkan aku sebagai tim sukses,”
“Kau tidak masuk saja telah berhasil membuat semuanya jadi berantakan, bagaimana kalau masuk, pasti semua hancur,”
Kak Irfan terdiam lalu membuang nafas panjang. Ia berdiri dan meninggalkanku dalam kedaan bersalah. Image yang ia bangun selama 3 tahun di SMU sebagai siswa teladan dan berprestasi aku runtuhkan begitu saja dalam sehari. Mungkin, tak akan ada pengampunan darinya, meski ribuan maaf telah aku lontarkan.
***
Pelantikan ketua OSIS segera dimulai. Semua murid berkumpul di lapangan layaknya upacara. Aku sengaja mengambil barisan paling depan agar aku bisa melihat dengan jelas wajah kemenangan David. Saat kepala sekolah mengumumkan ketua OSIS yang baru, David berjalan maju ke mimbar. Aku pun tak sabar mengikutinya maju ke depan.
“Rifka?” tanya kepala sekolah, heran melihatku maju ke depan. David yang berdiri di sampingku menahan amarah. Wajahnya merah padam.
“Maaf, Pak, jika saya lancang. Ijinkan saya berbicara sesuatu,” tanpa persetujuan kepala sekolah segera aku ambil mic.
“Pemimpin adalah teladan. Dia harus punya sikap yang jujur dan kesatria. Bukan pengecut dan licik,” mendadak aku seperti berorase di depan publik.
“Apa maksudmu?” tanya kepala sekolah, bingung dengan apa yang sebenarnya yang ingin aku katakan.
“David telah berbuat curang. Ia meminta saya untuk menfitnah calon ketua OSIS yang lain, Irfan Dwi Pratomo,” tak tahan rasanya aku menyimpan kebenaran itu sendiri. Aku ingin semua tahu bahwa desas desus yang mengatakan bahwa Kak Irfan pengguna narkoba adalah tidak benar.
“Kau memfitnah kakakmu sediri?” tanya kepala sekolah, tak percaya. Aku hanya mengangguk, penuh penyesalan.
“Bohong. Dia bohong, Pak,” David berusaha mengelak. “Jangan asal tuduh. Kalau tak punya bukti, itu fitnah,”
“Aku punya buktinya,” aku mengeluarkan ponsel dari saku baju. Memutar rekamannya lalau mendekatkannya ke mic agar semua mendengar.
Untung saat itu aku sempat merekam pembicaraan saat David memintaku membantunya melancarkan siasat liciknya. Sebagai gantinya, dia akan menjadikanku kekasihnya. Itulah kebodohanku. Tersihir oleh pesona ketampanan David, hingga mau melakukan apa saja untuknya.
“Itu suaramu, kan, David?” tanya kepala sekolah, mempertegas.
“Itu…” David kehilangan kata-katanya. Ia tak mampu lagi menutupi kebohongannya.
“Ya, benar. Itu suara David,” salah satu murid di barisan tengah tiba-tiba berteriak.
“Saya di sini untuk mengungkapkan kebenaran, sekaligus meminta maaf pada kak Irfan, kakak saya, calon ketua OSIS sekolah kita,” kataku, penuh harap kak Irfan mau memaafkan.
“Pemilihan harus diulang, Pak,” teriak murid yang lain.
“Setuju..!!!” murid-murid mulai ricuh.
“Baiklah. Meski kita telah kehilangan banyak waktu dan tenaga, tapi demi kejujuran dan sportifitas, akan diadakan pemilihan ulang besok pagi,” ujar kepala sekolah menenangkan.
***
“Kejujuran itu terkadang harus dibayar dengan mahal, ya,” kataku pada kak Irfan yang duduk di sampingku sambil menikmati es krim coklat yang mulai lumer. Siang itu, di warung belakang sekolah, terasa sejuk. Bukan hanya karena kami sedang menikmati es krim, tapi juga karena ketegangan di antar aku dan Kak Irfan mulai mencair.
“Apa kau tidak menyesal?” tanya kak Irfan. Pertanyaannya mengandung banyak makna untukku.
“Menyesal untuk apa?” tanyaku.
“Tidak jadi kekasihnya David,” jawab Kak Irfan sambi melirik ke arahku.
“Sepertinya lebih enak jadi adik kak Irfan dari pada kekasihnya David. Setiap hari ditraktir es krim,” kataku sambil terkekeh.
“Ih, maunya,”

THE END

Jumat, 21 Desember 2012

Lihatlah, Bu!


By. Hana Aina



Bu, lihatlah!
Mobil-mobil mewah berlalu lalang
seumpama angin, riang tanpa beban
dan aku berdiri di antaranya
terombang ambing
di tengah pusaran jaman 


Bu, kemanakah aku harus mengadu?
jika hukum tak lagi berpihak padaku
saat sehat adalah mahal karena aku tak mampu
atau bodohku karena tak menuntut ilmu

Lihatlah aku, Bu!
tinggal kulit membalut tulang
terkungkung, menjadi bulanan para dewan
mereka bilang, bicara atas namaku
padahal, siapa mereka?
aku tak tahu
 

Masihkah kau dengar keluhku, Bu?
perutku tak lagi terisi, karena kini
beras adalah emas
dan tangis para bayi menjadi harmoni
karena susu yang tak terbeli 


Bu, jangan berdiam diri
berbuatlah sesuatu
kepada siapa lagi aku akan mengadu
selain padamu,
Ibu Pertiwi-ku