Senin, 15 Oktober 2012

JANJI TERAKHIR


By. Hana Aina

Tera memandang jam dinding yang ada di kamarnya. Hampir pukul dua belas. Beberapa detik lagi ia akan meninggalkan usianya enam belas tahun. Ya, malam ini adalah ulang tahun Tera. Namun yang ia dapatkan adalah kedukaan.
Siang kemarin sepulang sekolah ia menemukan tak ada satu pun anggota keluarganya yang selamat dari pembantaian. Ayahnya ditemukan di ruang kerja dengan tembakan di kepalanya. Ibunya terkapar bersimbah darah di ranjang.
Tera menutup matanya. Merasakan kesedihan luar biasa di setiap desir nadinya, mengalir bersama darahnya.
Tera, gadis periang yang duduk di kelas dua SMU itu harus menerima kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri. Hanya Johan, ajudan ayahnya yang sudah diberi kepercayaan untuk menjaganya semenjak kecil, kini di sampingnya. Johan bertemu dengan Tera saat gadis itu berusia sembilan tahun. Saat itu usia Johan tujuh belas tahun. Dia baru bekerja dengan Gara, ayah Tera, salah seorang pimpinan geng di Ibu Kota.
***
Johan Ardiansyah meletakkan tas sportnya di atas meja, lalu mengeluarkan sepucuk pistol dari dalamnya. Ia mengisinya penuh lalu menyelipkan di belakang punggungnya.
Johan bersama adiknya tumbuh di jalanan. Kerasnya hidup mengajarkannya untuk bertahan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Johan tumbuh menjadi remaja pemberani, bahkan cenderung nekad. Tak ada yang ditakutinya. Saat menyelamatkan Gara dari serangan musuhnya, ia berhasil menewaskan sebagian besar penyerang. Ia membuat Gara terkesan hingga mempekerjakannya sebagai salah satu ajudan. Karena usianya yang masih muda, Johan mendapatkan tugas untuk mengawal Tera, anak perempuan Gara.
Johan berjalan keluar kamarnya menuju lorong yang sengaja dibuat remang. Pintu kamar Tera terbuka sedikit. Dilihatnya gadis itu terduduk di ranjang. Kepalanya tertunduk. Poni rambutnya jatuh menutupi wajah. Tanganya tertangkup di pangkuan.
Johan membuka pintu perlahan. Suara isak Tera terdengar pilu. Ia masuk lalu menarik sebuah kursi mendekat pada Tera. Sekarang mereka berhadapan.

“Mengapa..” suara Tera bergetar, “semua ini terjadi padaku?”
Johan terdiam, mencoba mencari jawaban. “Mungkin sudah menjadi takdirmu untuk menjalani semua ini.”
“Tapi aku tak mau, aku tak mampu,” Ia mulai terisak. Tubuhnya berguncang.
Johan tertunduk, menarik nafas panjang, lalu mengangkat wajahnya.
“Apa kau tahu arti dari namamu?” Pandangan Johan lurus ke arah Tera. Tera menggeleng.
“Suatu hari ayahmu pernah bercerita padaku..” Johan mengambil jeda, lalu melanjutkan.
“Teratai. Nama yang diberikan padamu. Seperti nama bunga yang hidup di atas air yang tenang tapi kotor. Tapi teratai mempunyai bunga yang sangat indah dan bersih. Sangat bertolak belakang dengan lingkungannya,” kata Johan. Tera mengerutkan dahi, berusaha memahami.
“Ayahmu ingin kau tetap menjadi dirimu. Tidak terpengaruh oleh sekitarmu,” lanjutnya.
Tera mengangkat wajahnya, menatap Johan yang ada di depannya. “Maksudmu, aku harus melupakan semua ini?”
“Ya, dan menjalani hidup baru,” jawab Johan.
“Apa aku mampu?” Tera ragu.
“Tentu,” jawab Johan mantap. Ia mengangkat tangan kanannya lalu meletakkan pada dadanya. “Percayalah pada hatimu,”
Tera mengangguk.
“Aku berjanji selalu bersamamu, menjagamu. Seperti janjiku pada ayahmu,” janji Johan.
***
Tera beranjak dari duduknya, melangkah ke luar kamar lalu turun ke lantai satu. Baru beberapa anak tangga yang ia tapaki mendadak lampu padam. Sangat gelap hingga Tera harus meraba dan berpegangan pada sisi tangga.
“Hallo..” Tera berusaha mendeteksi keberadaan penghuni lain.
Tera terus berjalan. Meski tak bisa melihat apapun tapi ia ingat betul posisi dapur, tepat di sebelah kiri tangga. Tera meraba kusen pintu menuju dapur.
“Selamat ulang tahun, Tera” Suara dari belakang Tera, mengagetkannya.
Tera berbalik. Cahaya lilin berependar dari belakangnya. Johan dengan sebuah kue tart di tangannya. Banyak lilin kecil berdiri di atasnya.
Tera tersenyum. Sebuah kejutan di tengah malam. Ia berdiri tepat di hadapan kue ulang tahunnya, lalu memejamkan mata. Tangannya tetangkup di depan dada. Bibirnya mengucap sesuatu, lirih. Sesaat kemudian ia kembali membuka mata lalu meniup semua api yang menari di atas lilin. Ada tujuh belas lilin kecil di atas kue, menyimbulkan umurnya sekarang.
Lampu kembali menyala. Tampaklah semua yang ada di sana. Selain Johan ada juga Alan, adik Johan. Sekarang mereka duduk mengitari meja makan di sisi meja dapur. Letaknya berhadapan langsung dengan pintu belakang yang terbuat dari kaca, hingga mereka dapat menikmati taman belakang dan suasana langit malam.
Tera senang malam itu. Meski tak ada lagi keluarga bersamanya tapi ia tetap bersyukur memiliki orang-orang yang menyayanginya.
Dor..!
Sebuah tembakan memecah kaca pintu. Alan dengan cepat berguling ke samping. Ia mengeluarkan pistol dari balik punggungnya lalu menembak semua lampu di dapur agar gelap. Dengan begitu akan menyulitkan lawan untuk mengetahui posisi mereka.
Johan menarik lengan Tera dan membawanya menjauh dari pintu, bersembunyi di balik meja dapur. Tembakan dari luar rumah terus menderu. Membabi buta ke segala arah. Sesaat kemudian sunyi. Suara tembakan berhenti. Namun tak mengurangi kewaspadaan Johan dan Alan. Suara langkah kaki menaiki tangga terdengar, tak hanya satu, ada beberapa.
Johan mengeluarkan pistolnya dari balik punggung lalu memberikannya pada Tera. Tera terkejut.
“Simpan ini untukmu. Gunakan bila perlu,”
“Tapi..” Tera tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tatapan mata Johan seolah memberikan isyarat untuk tegar dan bertahan. Johan berjalan mengendap merapat pada Alan. Sedang Tera berusaha mengumpulkan segenap keberanian. Sekarang mereka bersiap atas semua yang akan terjadi.
***
Tera mengintip dari balik meja dapur. Johan sedang bergumul dengan seorang lelaki, sedang Alan menembak pada musuhnya yang berusaha masuk ke rumah. Namun keadaan tak berpihak pada mereka. Dua orang melawan belasan. Mereka terdesak.
“Lari!” Perintah Johan pada Tera.
Dengan cepat Tera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman depan, masuk ke dalamnya, lalu menguncinya rapat. Ia masukkan kontak dan berusaha membuatnya hidup, namun tak bisa. Hanya terdengar erangan mesin lalu mati.
Dari belakang, sebuah buah mobil sedan hitam menabraknya. Tera berguncang dan pistol yang diletakkan di kursi sampingnya terjatuh. Ia panik. Ia berusaha meraba untuk mendapatkan kembali pistolnya sebelum orang-orang di dalam mobil itu mendekat. Namun ia tak mampu menemukannya.
Tera berbalik arah dan menemukan kedua pria berpakaian hitam sudah di samping pintu mobil. Yang satu berperawakan gempal dan yang lainnya krempeng. Mereka memecahkan kaca mobil, membukanya paksa dan menarik tubuh Tera keluar. Tera memberontak dan berteriak minta tolong. Tak ingin aksinya diketahui si gempal membekap mulut Tera.
Tera menancapkan kukunya pada lengan kekar si gempal. Si gempal mengerang kesakitan tapi tetap tak mau melepaskan bekapannya. Si krempeng membantu dengan menarik tubuh Tera hingga keluar mobil.
Tera berusaha bertahan. Ia mengangkat tubuhnya yang ringan lalu melayangkan kakinya ke arah si krempeng. Si krempeng terjatuh ke belakang. Namun dengan sigap ia bangkit. Kali ini ia mengangkat kaki Tera. Mereka menggotongnya ke mobil.
***
“Larilah pada Tera! Aku tangani ini,” kata Alan.
Bugh!
Alan melayangkan pukulan pada perut lawannya hingga tersungkur. Tak ada lagi senjata, yang ada hanyalah pertarungan satu lawan satu. Beberapa lawan telah tumbang. Tinggal dua orang saja. Ia yakin bisa membereskannya.
Johan berlari ke halaman depan. Ia melihat dua lelaki memaksa Tera masuk ke dalam mobil. Dengan cepat ia berlari mendekat dan melayangkan pukulan yang mengenai wajah si gempal. Si krempeng yang melihat temannya diserang melakukan serangan balik.
Untuk kesekian kalinya Johan melayangkan tinjunya pada si gempal hingga terjatuh ke belakang. Kemudian ia sedikit membungkuk menghindari pukulan si krempeng. Kini siku kirinya yang beraksi, melayangkan serangan ke arah perut si krempeng. Si krempeng tersungkur.
Tera berhasil keluar dari mobil. Ia mendekat pada Johan. Johan melihat ke arah si gempal. Si gempal mengeluarkan pistol dari balik punggungnya dan mengarahkannya pada Tera.
Dor..!
Johan mendorong Tera ke belakang. Ia sendiri tersungkur di depan Tera. Darah segar mengalir dari tubuhnya yang tertelungkup. Tera panik. Di depannya, si krempeng siap menarik lengannya.
Dor..!
Tiba-tiba si krempeng terjatuh dengan luka tembak di kepala. Demikian pula si gempal yang terkapar di tanah. Tera melihat ke arah datangnya tembakan. Alan berdiri di sana. Sesaat kemudian berlari ke arah Tera.
Tera membalikkan tubuh Johan yang sudah tak berdaya dengan sebuah luka tembak di punggung, merebahkan kepalanya perlahan di pangkuannya.
“Maafkan aku, Tera … tak bisa menepati janjiku,” kata-kata Johan terbata.
“Apa maksudmu?” suara Tera bergetar.
“Ingatlah, Terataiku. Kau pasti bisa bertahan,” ujar Johan mantap.
“Kakak?” Suara Alan dari belakang, mendekat pada Tera dan Johan.
“Jaga terataiku,” Johan memohon pada Alan. Alan menjawabnya dengan anggukan.
“Aku menyayangimu, Tera,” Johan tersenyum.
“Kak Johan,” suara Tera lirih mengiringi air matanya yang menderas.
***
Takkan selamanya tanganku mendekapmu
takkan selamanya raga ini menjagamu
seperti alunan detak jantungku
tak bertahan melawan waktu
dan semua keindahan yang memudar
atau cinta yang telah hilang
(Tak Ada yang Abadi, by Peterpan)

Teratai Puteri Gara menatap nanar pada batu nisan di depannya. “Mungkin, seumur hidup aku akan memendam rasa ini tanpa bisa mengungkapkannya. Aku tahu betapa kau menyayangiku, tapi aku lebih dari itu,”
Tera mengambil nafas panjang. “Aku mencintaimu, kak Jo,”
Tera kini tinggal bersama kakek dan neneknya di pinggiran kota. Ia mencari ketenangan dari carut marut dan menata hidupnya yang porak poranda. Seperti remaja pada umumnya, ia melanjutkan sekolah di sebuah SMU dan bergaul bersama teman-teman sebayanya.
“Sebentar lagi akan hujan,” ujar Alan yang sekarang menjadi penjaganya. Namun sampai kapan pun Johanlah yang menjaga hatinya.
“Ya, kita pergi dari sini,”
THE END

Solo, 14/10/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berbagi komentar